Ibukota Propinsi terletak di lembah Palu yang indah
yang dibagi 2 oleh sungai Palu. Bagian barat kota ini menghadap ke teluk Palu.
Pantai lainnya adalah pantai penghibur Talise di bagian utara kota ini. Selain
sarana olahraga air adapula warung-warung makan yang buka hingga larut malam
dan populer dikalangan masyarakat setempat.
Jembatan Palu IV
Jembatan Palu IV merupakan sebuah jembatan yang
terletak di Kota Palu, Sulawesi Tengah, Indonesia. Jembatan ini diresmikan pada
Mei 2006 oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Jembatan ini membentang di
atas Teluk Talise ini berada di kelurahan Besusu dan Lere, yang menghubungkan
kecamatan Palu Timur dan Palu Barat.
Jembatan kuning ini merupakan jembatan lengkung
pertama di Indonesia dan ketiga di dunia setelah Jepang dan Perancis.
Sejak
tanggal peresmian tersebut, masyarakat Palu dan sekitarnya selalu ingin melihat
jembatan sepanjang 300 meter itu sekaligus menikmati tenggelamnya
mentari.Tenggelamnya matahari terlihat lebih jelas dan mempesona dari atas
jembatan. Apalagi, saat sinar matahari yang berwarna jingga kekuningan memantul
ke permukaan Teluk Palu, keindahan semakin nyata. Air Teluk Palu pun berubah
warna mengikuti warna sang Surya yang mulai sirna ditelan pegunungan Gawalise.
Museum Sulawesi Tengah
Memberikan beberapa informasi tentang sejarah dan
budaya propinsi dan masyarakat. Hal-hal yang menarik mencakup peninggalan zaman
prasejarah seperti perkakas rumah tangga dan senjata. Adapula contoh-contoh
seni dan kerajinan tradisional. Bangunan museum merupakan tipe arsitektur yang
berbbeda yang ditentukan di daerah ini.
Taman Alam Poboya
yang terletak 7 km ke arah timur kota ini pada pinggir
sebuah bukit yang ditutupi oleh kayu-kayu gaharu memberikan suatu pemandangan
yang menarik di lembah dan teluk kayu. Suaka ini merupakan suatu lokasi
kemping/berkemah.
Potensi emas di Poboya
Emas di Poboya benar-benar menjadi magnit.
Diperkirakan ratusan, bisa ribuan penambang, berikut penadah tengah mengadu
untung di lokasi ini. Omzetnya pun gila-gilaan, miliaran setiap harinya.
Data tak resmi menyebutkan setiap harinya puluhan kilogram emas
berhasil didulang, dengan kadar 40-60%. Harga jual pun fantastis, rata-rata Rp.
60-130 ribu per gram. Menjualnya tak sesulit mendulang. Di sekitar desa Poboya,
para pembeli telah siap menggelontorkan uang untuk setiap gram emas, logam yang
tak lekang nilai keasliannya sepanjang sejarah.Desa yang pernah melambung
namanya karena menjadi lokasi eksekusi Fabianus Tibo cs (terpidana mati atas
kasus kerusuhan Poso, kini kembali melambung bak meteor. Anda berminat datang?
Poboya
Poboya kini sebuah wilayah kelurahan di Kecamatan Palu Timur, Palu Sulawesi Tengah. Tak diketahui secara pasti sejak kapan orang-orang mulai menambang emas di kawasan Taman Hutan Rakyat (Tahura) Poboya ini. Penduduk setempat mengenalnya sebagai lokasi kegiatan anak-anak Pramuka. Aktivitas mulai sesaat setelah sejumlah geolog yang dikirim PT Citra Palu Mineral/CPM (perusahaan patungan PMDN dan PMA) pada akhir tahun 1998 melakukan pengeboran pada beberapa titik di lahan konservasi ini. Mereka mengambil sampel tanah mengandung emas guna kepentingan uji laboratorium. Pada awalnya, hanya segelintir penduduk setempat yang mendulang emas. Pola penambangannya pun terbatas, dan hanya mendulang di sekitar aliran Sungai Poboya.
Poboya kini sebuah wilayah kelurahan di Kecamatan Palu Timur, Palu Sulawesi Tengah. Tak diketahui secara pasti sejak kapan orang-orang mulai menambang emas di kawasan Taman Hutan Rakyat (Tahura) Poboya ini. Penduduk setempat mengenalnya sebagai lokasi kegiatan anak-anak Pramuka. Aktivitas mulai sesaat setelah sejumlah geolog yang dikirim PT Citra Palu Mineral/CPM (perusahaan patungan PMDN dan PMA) pada akhir tahun 1998 melakukan pengeboran pada beberapa titik di lahan konservasi ini. Mereka mengambil sampel tanah mengandung emas guna kepentingan uji laboratorium. Pada awalnya, hanya segelintir penduduk setempat yang mendulang emas. Pola penambangannya pun terbatas, dan hanya mendulang di sekitar aliran Sungai Poboya.
Cuaca panas ini tak membuat penambang emas di
Kelurahan Poboya, Kota Palu, Sulawesi Tengah, beranjak dari tempatnya memecah
batu. Sebagian mengaso sebentar, berdiri lagi, lalu mengambil martil dan
linggis untuk kembali sibuk menggali tanah dan memecah batu. Poboya hampir tak
pernah tidur. Sejak pagi hingga malam, suara pukulan martil dan linggis beradu
dengan batu-batu keras hampir tak pernah berhenti. Truk, mobil bak terbuka, dan
kendaraan roda dua hilir mudik mengangkut karung berisi batu menuju permukiman
terdekat di Poboya berjarak sekitar 10 kilometer. Jalan tanah sempit dan
berbatu menyeberangi sungai bukan hambatan.
Di rumah-rumah penduduk di Poboya, aktivitas warga tak
kalah sibuknya. Membongkar karung, memukul batu hingga setengah hancur, lalu
menggiling dalam tromol menjadi pemandangan lazim di rumah warga. Di lokasi
penambangan tidak memungkinkan mengoperasikan tromol. Di rumah penduduk,
kepingan batu dicuci dengan air raksa (merkuri) untuk memisahkan butiran emas
dari tanah. Namun, tak semua batu mengandung emas. Kerap terjadi, tak sebutir
emas ditemukan meski berkarung-karung batu yang dihancurkan. Namun, jika nasib
lagi baik, batu-batu yang digali dan dihancurkan berisi butiran emas.
Poboya kini bak tanah harapan bagi penambang yang kian
banyak berdatangan. Warga setempat pun seperti tak hirau. Sebagian malah
mendapatkan keuntungan dari sewa tanah yang kebetulan berada di areal
penambangan. Sebagian mendapatkan penghasilan dari uang jasa keluar masuk areal
pertambangan sebesar Rp 10.000 per orang, sewa tromol, atau buruh angkut. Di
kota Palu, beberapa bulan terakhir, mulai munculusaha bengkel las baru, untuk
keperluan para penambang. “Awalnya bengkel las kami hanya melayani pengerjaan
las biasa.
Tapi ada beberapa pelanggan yang ingin dibuatkan
tromol. Kami tertarik dan mencoba membuat tromol dengan berbagai ukuran,” ujar
Eman, seperti dikutip harian Mercusuar. Sejak maraknya penambangan rakyat di
Poboya, bengkel las yang terletak di Jalan Veteran ini, telah banyak melayani
pesanan pembuatan tromol yang dipakai “menangkap” bijih emas. Kini dalam sehari
ia bisa menjual 10-20 tromol yang telah siap pakai dengan harga bervariasi.
Untuk tromol ukuran 45 X 60 M, dengan ketebalan 12 mm, dihargai Rp2,15 juta.
Sedangkan ukuran 50 X 60 tebal 15mm dijual dengan harga Rp2,3 juta. Selain itu,
Eman juga menjual alat tumbu-tumbu yang berfungsi untuk menghaluskan batu yang
mengadung emas, dengan harga Rp17,5 juta.
Arena Motocross Tanah Runtuh
Kira-kira 2 km di timur Palu, terletak Tanah Runtuh
yang memberikan pemandangan yang menarik ketika matahari terbenam dibalik
gunung Gawalise. Ada juga sarana olah raga dan rekreasi disini seperti lapangan
golf, pacuan kuda dan arena motocross.
Pantai Talise
Pantai Talise merupakan obyek wisata pantai
dengan memiliki panorama alam yang indah hamparan teluk dan pegunungan yang
begitu mempesona. Selain itu, pantai ini sangat cocok untuk kegiatan olah raga,
seperti: berenang, selancar angin (wind surfing), sky air,
menyelam, memancing, dan lain sebagainya
Pantai Talise sebagai tempat tamasya adalah pilihan
yang paling murah dan mudah karena selain tidak memerlukan biaya, lokasinya
teramat mudah untuk dicapai yaitu ditengah kota dan akses jalan yang sudah
teraspal .
Keberadaanya yang dekat dengan pusat kota menjadikan
pantai ini banyak dikunjungi oleh pendatang maupun masyarakat Palu sendiri.
Berkunjung di siang hari agak kurang cocok, karena cuaca di Palu umumnya terik
dan angin bertiup sangat kencang saat jam 12 siang lewat.
Pemandangan indah di Pantai Talise saat matahari menjelang terbit. Pantai ini enak dikunjungi saat sore hari menjelang matahari terbenam dan saat sore sambil menikmati makanan kecil dan minuman berupa pisang goreng, pisang eppe, jagung, teh/kopi, sarabba. Disore dan malam hari juga dijadikan tempat rekreasi keluarga dan kaum muda-mudi.
Pemandangan indah di Pantai Talise saat matahari menjelang terbit. Pantai ini enak dikunjungi saat sore hari menjelang matahari terbenam dan saat sore sambil menikmati makanan kecil dan minuman berupa pisang goreng, pisang eppe, jagung, teh/kopi, sarabba. Disore dan malam hari juga dijadikan tempat rekreasi keluarga dan kaum muda-mudi.
Banua Mbaso
Banua Mbaso
Rumah Raja disebut Souraja yang
berarti rumah besar yang juga sering dikenal dengan Sapo Bose atau Banua
Mbaso yang melambangkan kebangsawan.
Pada bagian interior dalam terdapat kaligrafi di atas
kayu dalam aksara Parisi atau Lufi Arab. Arsitektur kayu yang ditulis di atas
batu dan ukiran dengan jelas merupakan pengaruh Melayu dan Bugis dizaman
lampau.
Banua Mbaso letaknya ditengah pusat kota Kaledo (Palu)
– Sulawesi Tengah, Kecamatan Palu Selatan, dan merupakan situs sejarah yang
terdapat di Tana Kaili ini..
Banua Mbaso / Banua Oge atau lebih sering disebut Sou Raja (bahasa daerah kaili yang artinya Rumah Besar atau Pondok Raja) , didirikan sekitar 115 tahun silam, yang berukuran 32 x 11,5 m dan dibangun oleh Raja Palu Jodjokodi sekitar 1892, dan merupakan tempat tinggal sang Raja beserta keluarganya, sekaligus berfungsi sebagai pusat pemerintahan kerajaanwaktu itu.
Banua Mbaso / Banua Oge atau lebih sering disebut Sou Raja (bahasa daerah kaili yang artinya Rumah Besar atau Pondok Raja) , didirikan sekitar 115 tahun silam, yang berukuran 32 x 11,5 m dan dibangun oleh Raja Palu Jodjokodi sekitar 1892, dan merupakan tempat tinggal sang Raja beserta keluarganya, sekaligus berfungsi sebagai pusat pemerintahan kerajaanwaktu itu.
Rumah panggung ini merupakan paduan arsitektur gaya
Bugis (Sulawesi Selatan) dan Kalimantan Selatan, dimana memiliki 36 buah tiang
penyangga rumah bagian induk dan gandaria (Teras) termasuk 8 buah tiang bagian
dapur.
Taman Ria
Taman Ria didatangi oleh pengunjung yang datang di
kota Palu. Pantai ini menghadap ke timur, Di lokasi ini juga berderet sekitar
100 kafe penjaja makanan ringan dan hidangan khas Palu lainnya. Kafe buka dari
sore hingga malam hari.
Kediaman controleur
Kediaman controleur di masa Hindia
Belanda (tahun 1930-an).
Dombu
Gunung Gawalise di barat kota Palu, kabupaten
Donggala, berpotensi sebagai obyek wisata alam dan budaya yang menarik. Gunung
Gawalise berjarak ± 34 kilometer dari Palu dan dapat ditempuh oleh kendaraan
roda empat dalam kurun waktu ± 1 jam 30 menit. Di gunung Gawalise terdapat desa
Dombu yang terletak di ketinggian dan berhawa sejuk. Desa lainnya adalah desa
Matantimali, desa Panasibaja, desa Bolobia dan desa Rondingo.
Desa-desa ini didiami oleh suku Da’a. Suku Da’a
merupakan sub-etnis suku Kaili yang mendiami daerah pegunungan. Di desa-desa
ini dapat disaksikan atraksi sumpit yang diperagakan oleh warga setempat. Rumah
di atas pohon masih ditemukan di desa Dombu sampai sekarang.
No comments:
Post a Comment