banyak orang
gamang mendatangi. Gamang karena issu keamanan dan gamang sarana yang ada
disana. Pemberitaan tentang Papua menyangkut keamanan, menyurutkan niat orang
kesana. Kurangnya informasi terkini tentang Wamena dan sekitarnya, membuat
orang enggan datang. Padahal kawasan Lembah Baliem tersebut eksotis, baik alam
maupun manusianya. Yang pasti di Wamena, mahal !
“Bapak saya antar ke rumah bapak,” kata Refael Doga.
Refael Doga (46), anak tertua dari istri pertama
almarhum yang legendaris, yang menggantikan kedudukan Ayahnya sebagai Kepada
Suku Pamuga.
Suku Pamuga merupakan suku induk dari empat suku
dibawahnya, yaitu Suku Hilpoh, Suku Wilel, Suku Itiman dan Walilo. Keempat suku
ini, dengan jumlah penduduk sekitar 4000 jiwa, tersebar di dua desa yaitu Desa
Pabuma dan Desa Suroba, Distrik Kurulu, Kabupaten Jayawijaya. Suku Pamuga
berada di Desa Pabuma. Distrik merupakan penamaan kecamatan di Papua.
Desa Pebuma, lebih kurang 10 km dari kota
Wamena, berada di tengah-tengah hamparan lembah yang luas, sebagai bagian dari
Lembah Baliem. Saya berada di desa ini, untuk mengunjungi kediaman dan keluarga
Obahorok.
Benar saja, Refael berganti baju, dan siap
mengantarkan saya ke Wamena. Sampai di kota Wamena, kepala suku tersebut saya
ajak makan di rumah makan Padang. Dia ragu apa yang harus ia makan. Saya
memesan ayam goreng, dia pun ikut. Ketika saya tawarkan apakah mau minum kopi
atau teh manis, dia pun menyerahkannya
kepada saya. Akhirnya saya pesankan kopi untuknya.
“Saya antar bapak ke rumah bapak,” tegasnya kembali.
Selesai makan, kami berjalan kaki ke hotel tempat saya tinggal di Jalan
Trikora.
Hari sudah menjelang sore. Untuk mendapatkan angkutan
umum ke kampungnya, Refael saya suruh pulang dan diberi ongkos transportasi.
Saya katakan kepadanya, besok pagi saya akan kembali ke Jayapura. Kami
bersalaman, dan berpisah.
Pagi keesokan harinya, ketika saya sedang berkemas
hendak ke Bandara Wamena, Refael sudah berada di beranda hotel. “Oh, Bapak,”
ujar saya kaget, dengan menyalaminya,
dan mempersilahkannya masuk ke kamar.
“Bapak, saya akan ke bandara. Bapak silahkan
pulang,” ujar saya.
“O, saya antar Bapak ke bandara,” jawabnya.
Kami ke Bandara Wamena menggunakan jasa becak. Di
Bandara saya mencari tiket extra flight, karena banyak penumpang yang hendak ke
Jayapura.
“Bapak silahkan pulang, biar saya saja disini,” ujar
saya kepadanya.
“Tidak Bapak. Saya jaga sepeda bapak sampai bapak
masuk,” jawabnya.
Saya menyerah. Setelah berjam-jam menantikan kepastian
tiket, akhirnya saya check in untuk boarding.
Refael saya salami dan peluk, kami berpisah.
Refael Doga, merupkan tipikal seorang kepala
suku yang menjaga tamu-tamunya. Betullah kata Agus Doga, saudara sepupu Refael
– yang mengatakan kepada saya, bahwa saya akan diantar sendiri oleh Bapak Kepala,
panggilan kepala suku. “Kalo bukan Bapak Kepala yang antar Bapak, saya yang
antar,” terang Agus.
Ini cerita lain tentang orang-orang di Lembah Baliem.
Dalam perjalanan saya dengan sepeda dari Wamena menuju Wosilimo, dimana
Festival Lembah Baliem diadakan, saya bertemu dengan anak muda berambut gimbal
– yang tiba-tiba muncul dari jalan setapak dengan sepeda. “Selamat pagi,” sapa
saya dimana pada saat itu saya tengah memeriksa sumbu roda sepeda. “Selamat
pagi Bapak,” jawabnya.
Namanya Deminus Mabel, berasal dari kampung
Obiak, Distrik Karulu. Dia bersama orang sekampungnya hendak ke Wosilimo untuk
berpartipasi acara “perang-perangan”. Orang sekampungnya dibawa dengan truck,
sedang Deminus bersepeda.
Kami menggowes sepeda bersama ke Wosilimo. Dalam
perjalanan, saya perhatikan, sepedanya yang otek-otek itu sulit dikendalikan.
Ternyata rem sepedanya tidak berfungsi. Selama berada di Wosilimo, dia dengan
setia menunggui sepeda saya ketika saya sibuk mengambil gambar. Dia temani saya
pulang, ketika ban dalam sepeda saya pecah, yang akhirnya kami menumpang truck.
Dia tidak tahu berapa usianya. Saya mengira dia
buta huruf, meski dia memiliki HP. Ketika berpisah, saya beri dia satu shet rem
dan kunci sepeda. “Terimakasih Bapak. Bapak perlu bantuan, telpon saja saya,”
kata dia di truck.
Nama Wamena memiliki kesan tersendiri bagi peminat
wisata alam. Ke Wamena, berarti memasuki jantung Papua. Wamena, penuh tanda
tanya. Ada apa disana, bagaimana disana. Pertanyaan macam itu wajar saja karena
kawasan tersebut terisolir dan juga kekurangan pengetahuan mengenai situasi
setempat. Berita-berita mengenai kelompok-kelompok sparatis dan perkelahian
antar kampung, turut menyusutkan niat orang mengunjungi Wamena.
Cerita tentang Refael dan Deminus, sedikit
gambaran mengenai masyarakat yang tinggal di Lembah Baliem, bagian pedalaman
Papua. Ada keramahan dan ketulusan dengan caranya sendiri dalam
mengungkapkannya. Sapalah orang-orang Papua yang secara kebetulan ditemui di
jalan, mereka akan membalas dengan hangat. “Selamat pagi, selamat pagi,” jawab
mereka dengan mengangkat tangan.
Berwisata ke Wamena dan di Lembah Baliem yang terkenal
itu, memerlukan kemauan keras dan dengan persiapan yang matang. Artinya, Wamena
merupakan wisata minat khusus. Tujuan selama disana, harus jelas dan terhitung.
Ketika mendarat di Bandara Sentani pagi hari,
jika beruntung dapat tiket penerbangan berikutnya ke Wamena. Jika kurang
beruntung, menunggu extra flight siang hari. Berarti berjam-jam menanti
penerbangan berikutnya.
Mendarat di Bandara Wamena, berarti sudah sampai di
kota Wamena. Jarak antara bandara dengan pusat kota hanya 2 km. Keluar
dari Bandara, bisa menggunakan taksi
dengan tarif Rp.50.000 atau dengan becak seharga Rp.10.000.
Jangan sangsi di Wamena. Semua kebutuhan hidup
disini tersedia, asalkan cukup uang. Hotel termurah, hanya kamar tanpa
fasilitas apapun, kecuali kamar mandi, tarifnya Rp. 300.000. Juga tersedia
kelas hotel benaran dengan tarif Rp.1.500.000. Tinggal pilih saja, sesuai kocek
dan banyak pilihan hotel di Wamena. Saya menyarankan, tempatilah hotel termurah
karena pengeluaran-pengeluaran berikutnya akan “mengejutkan”.
Untuk makan, saya menemukan 8 rumah makan Padang dan
beberapa warung makan yang dikelola perantau asal Pulau Jawa dan Sulawesi.
Makanan favorit disini adalah ayam goreng. Makanan kecil, seperti kue basah dan
goreng-gorengan ada, tapi baru tersedia sore hari. Di sepanjang Jalan Irian,
banyak terdapat rumah makan, lebih banyak lagi rumah makan Padang. Misalnya di
Jalan Yos Sudarso, dimana perkantoran pemerintah berada, terdapat pula rumah
makan Padang yang baik. Jalan Irian merupakan pusat perbelanjaan di Wamena.
Banyak terdapat warung kelontong yang menyediakan
makanan kecil dan makanan pokok. Kelas super market, bernama Topas, adanya di
Jalan Trikora. Di Topas, tersedia semua kebutuhan. Mulai dari kabel, selotip,
battery, dan sebagainya. Makanan pabrikan, lengkap. Mau sosis, keju Kraft,
coklat Silver Queen, mini pizza, roti tawar dan roti isi beragam rasa tersedia.
Untuk transaksi perbankkan, hanya tersedia tiga bank,
yaitu Bank Mandiri, Bank BRI, dan Bank Papua. Bank BRI banyak menyediakan ATM,
bagi pemilik kartu ATM BCA bisa mengambil uang di BRI. Bank Mandiri juga
menyediakan ATM, adanya di Jalan Trikora.
Kebutuhan komunikasi dan jaringan data, banyak
tersedia kios-kios penjual pulsa, kios HP dan berikut assoseriesnya. Untuk
jaringan data internet, wah jangan
berharap banyak deh. Di Wamena hanya
dilayani dua operator yaitu Telkomsel dan Indosat. Kedua jaringan tersebut
percuma saja. Demikian pula jasa internet yang disediakan oleh Telkom. Ketika
saya putus asa dengan layanan Telkomsel dan Indosat, saya ke warnet untuk
membuka email. Sekedar membuka email saja, bikin naik darah. Benarlah kata Leo,
pemilik usaha travel yang saya datangi memesan tiket. “Banyak pemesan tiket
marah-marah karena untuk membuka website satu maskapai saja terputus-putus.
Begitulah jaringan internet disini,” terang Leo yang dulu kuliah di Universitas
Pancasila Jakarta.
Sekedar melengkapi pengetahuan tentang Wamena dan
sekitarnya, dimulai saja dari Bandara Wamena. Bandara Wamena milik TNI AU ini,
memiliki landasan pacu yang bisa didarati oleh pesawat jet. Bandara Wamena
selain melayani penerbangan ke Jayapua, juga ke tujuan – tujuan penerbangan
pendek lainnya. Bandara ini cukup sibuk, selain melayani penumpang, juga berfungsi sebagai bandara cargo sebab semua
kebutuhan di Wamena diangkut dengan pesawat terbang karena tidak tersambung
oleh jalan darat.
Transportasi
Lama penerbangan Bandara Sentani (Jayapura) - Wamena
45 menit. Dilayani diantaranya olehMerpati Air Line, Hercules dan Cessna. Harga
tikel Rp.600.000 sampai Rp. 700.000.
Barada di Wamena, bagai terkurung disuatu
kawasan. Mengapa demikian, pehubungan hanya bisa dilakukan melalui udara.
Terkesan bahwa mendapatkan tiket ke Wamena lebih mudah, dibandingkan dari
Wamena ke Sentani. Baik itu dibeli langsung ke airport, atau ke agency. Dua
agency yang saya datangi 2 hari sebelum kembali, tidak memiliki tiket kosong.
Mereka sama-sama mengatakan bahwa jatah tiket untuk agency dibatasi. Karena
itu, pendatang disarankan untuk membeli tiket pulang-pergi.
Angkutan dalam kota tersedia becak dengan tarif antara
Rp.5000 sampai Rp. 10.000 tergantung jarak. Transportasi pedesaan, dengan
tujuan :
Ke Pelebaga (26 km), tarif Rp.15.000
Ke Huby kossy (10 km), tarif Rp. 10.000
Ke Wollo (47 km), tarif Rp. 25.000
Ke Asologaima (39 km), tarif Rp. 25.000
Ke Karulu (16 km), tarif Rp. 15.000
Ke Asolokobal (20 km), tarif Rp. 10.000
Ke Bolakme (45 km), tarif Rp. 25.000
Ke Musatfak (20 km), tarif Rp. 10.000
Ke Kurima (40), tarif Rp. 20.000
Ke Karubaga (110), tarif Rp. 200.000
Hotel
Hotel Baliem Pilamo, tarif Rp. 300.000 s/d Rp. 1.500.000
Hotel Ranu Jaya I, tarif Rp. 300.000 s/d Rp. 400.000
Hotel Ranu Jaya II, tarif Rp. 300.000 s/d Rp. 400.000
Trendy Hotel,
tarif Rp. 300.000 s/d Rp. 400.000
Hotel Srikandi,
tarif Rp. 300.000 s/d Rp. 400.000
Hotel Syarial, tarif Rp. 300.000 s/d Rp. 400.000
Hotel Anggrek, tarif Rp. 300.000 s/d Rp. 400.000
Hotel Nayak, tarif Rp. 300.000 s/d Rp. 400.000
Hotel Gemany in Saken, tarif Rp. 1.250.000
Pondok Wisata Mas Budi, tarif Rp. 300.000 s/d Rp. 400.000
Hotel Wamena,
tarif Rp. 300.000 s/d Rp. 400.000
Hotel Terapung, tarif Rp. 300.000 s/d Rp. 400.000
Tujuan
Wisata
-
Telaga
Biru-Maima dan Jembatan Kuning di Distrik Asolokobal sekitar 9 km
-
Tirta
Wesapot dan Patung Sejarah Ukumearek Aso di Distrik Asotipo sekitar 11 km
-
Jembatan
Gantung dan Wisata Alam di Distrik Asotipo sekitar 12 km
-
Tirta Walesi
dan Wisata Alam di Distrik Walesi sekitar 6 km
-
Air Terjun
Napua dan Wisata Alam di Disttrik Napua sekitar 6 km
-
Wisata Mumi
Aradoba di Distrik Asologaima sekita 15 km
-
Wisata Mumi
Aikima dan Pasir Putih di Distrik Pisugi sekitar 7 km
-
Wisata Mumi
Jiwika dan Air Garam di Distrik Karulu sekitar 15 km
-
Wisata Goa
Kontilola, Sikepalki dan Lokale di Distrik Karulu sekitar 18 km
-
Air Terjun
Tinggi Tinggima di Distrik Wolo sekitar 30 km
Mahal
Satu kata saja yang tepat untuk Wamena: Mahal !
Para pendatang akan dikejutkan pertamakali ketika
membayar sebetol kecil minuman mineral ukuran 600 ml, seharga Rp. 10.000.
Inilah listing perbelanjaan di Wamena, sebagai contoh tingginya
harga-harga di Wamena.
Minimun susu coklat kemasan kotak, seharga Rp. 10.000,
Roti isi Rp. 9000, Roti pizza Rp, 17.000, Makan dengan ayam goreng Rp. 25.000,
Teh manis Rp. 10.000, sebutir kelapa Rp.
17.000, Beras bulog satu karung isi 25 liter mencapai Rp. 300.000, Gula 1 kg Rp
25.000, Pulsa seluler paket pulsa 20.000 seharga Rp. 25.000, Jasa internet per
jam Rp. 10.000, satu sak semen Rp. 600.000. Bahan bensin disubsidi dengan Rp.
6000 seliter.
Harga – harga di wamena yang terasa mencekik itu, wajar-wajar
saja karena semua kebutuhan pokok dan material diangkut dengan pesawat terbang
dari Jayapura. Tarif cargo per kilogram Jayapura – Wamena Rp. 14.400. Tapi yang
mencengangkan adalah rumah makan selalu penuh didatangi warga setempat pada jam
– jam makan.
Sepuluh tahun terkahir ini Wamena bersolek wajah. Dari
semula berwajah pedesaan, kini menampakkan cici-ciri perkotaan yang modern dan
enak dilihat. Bangunan ruko, berjejer-jejer, bahkan terdapat bangunan
bertingkat yang diperuntukkan sebagai mini mall.
“Oleh Bupati, kami dipaksa untuk menempati ruko. Namun
demikian, kami dibantu oleh Pemda kemudahan pembayaran dengan memberikan
pinjaman melalui bank daerah. Bagus sih, kalo nggak begitu, Wamena tidak akan
berubah, hanya kami cemas untuk membayar cicilan,” terang Indra, yang mengelola
Rumah Makan Padang Siang Malam di Jalan Irian ini.
Rumah ibadah mudah ditemui, baik itu gereja maupun
masjid. Wamena dan khususnya pedalaman Papua yang beragama mayoritas Nasrani,
di Wamena terdapat masjid-masjid besar. Pada jam – jam sholat, adzan
bekumandang.
Berangsur-angsur menjauhi kota Wamena, terasa alam dan
manusia Lembah Baliem dengan jati dirinya kuat. Meski jalan raya rapi, dan
diterangi listrik, masyarakat menjalankan kehidupan dengan kesehajaannya. Saya
tidak menemukan aktivitas pertanian yang signifan, meski memiliki tanah yang
subur. Masyarakat berkebun hanya menanam ubi, ketela, wotel, jagung, kedelai
dan sayur kol. Ketela dan ubi untuk dimakan sehari-hari, kelebihannya dijual di
pasar. Sedangkan sayur-sayuran, hanya untuk konsumsi lokal. Penghasilan ekstra
masyarakat dari hasil hutan, seperti madu, buah merah, dan buah pinang.
Peternakan, pastilah babi.
Jika rumah makan penuh, di supermarket antri pembeli,
angkutan pedesaan selalu membawa penumpang, apa penghasilan penduduk setempat
?
Penduduk berpenghasilan sekedar cukup, umumnya
dari jasa. Misalnya dari jasa transportasi. Ambillah contoh. Di Wamena terdapat
21 garasi becak. Setiap garasi memiliki lebih dari 5 becak. Penarik becak
menyetor setiap hari Rp. 25.000. Dalam sehari penarik becak bisa mendapatkan
uang Rp. 150.000.
Jasa lain adalah sektor bangunan. Upah kepala tukang
sehari Rp. 250.000. Pembantu tukang terampil Rp. 150.000. Kenek tukang, yang
sektor ini diisi oleh warga setempat, mendapat upah Rp. 100.000.
Seorang anggota Polisi, yang nota bene yang menerima
gaji setara di seluruh Indonesia, mengungkapkan, menerima tunjangan bulanan Rp.
600.000 untuk mengimbangi biaya hidup di Wamena. “Kami anggota disini, baik itu
juga pegawai sipil, rumit membelanjakan uang. Untuk mengontrak rumah saja,
sejuta setengah sebulan,” terang anggota Polisi yang berasal dari Sumedang
itu.
Ada juga warga yang beternak lebah diambil
madunya. Sebotol madu seharga Rp. 200.000. Agus Doga, yang beternak lebah, mendapat
bantuan dari LIPI. Agus pernah memiliki 30 kotak lebah, kini tinggal 12 kotak
saja. Agus mengeluh lebahnya banyak yang mati, terutama lebah pekerja. “Saya
tidak bisa beli obat lebah,” terangnya.
Buah merah yang terkenal khasiatnya, tidak lagi harus
ke hutan mencarinya. Buah merah sudah dikembangkan oleh warga setempat di
sekitar rumahnya. Buah Merah berdaun pandan dan berduri. Akarnya seperti akar
bakau. Batang utama akan bercabang, setiap cabang mengeluarkan buah. Bakal buah
Buah Merah seperti pisang, melalui jantung yang dibungkus tiga pelepah. Buahnya
siap petik ketika warna merahnya merona dan biasanya setelah berusia tiga
bulan. Buah merah akan berbuah setelah berusia lima tahun. Dalam setahun, buah
merah bisa beberapa kali berbuah. Buah merah dijual ke pasar, harganya mencapai
Rp 150.000 per buah. “Tidak semua tempat buah merah bisa berbuah,” terang
Refael Doga.
Lalu lintas kendaraan di Wamena cukup ramai.
Transportasi umum menjalani rute sampai ke kecamatan-kecamatan. Yang menarik
adalah, di kota pedalaman Papua tersebut banyak terdapat kendaraan double cabin
dan suv kelas atas, seperti mereka Toyota Hilux, Mitsubisi Strada, Mitsubisi
Pajero Sport dan Ford Rangers. Dan, kendaraan tersebut dijadikan sebagai
angkutan umum dan beberapa diantaranya ber plat nomor kuning.
Kritik saya kepada Pemerintah Daerah Kapaten Jayawijay,
yang mana sangat bersemangat memasarkan wisata, adalah tidak menyediakan
informasi wisata yang lengkap dan sulit mendapatkan informasi. Tidak terdapat
petunjuk arah ke tujuan wisata. Misalnya saja, di persimpangan Jalan Trikora,
seharusnya disediakan pentujuk ke Wosilimo, Wisata Mumi di Wikima, dan
lain-lainnya. Mumi yang terdapat di
Wikima, sebenarnya tidak jauh dari jalan utama, tapi tidak terdapat petunjuk
jalan. Dari sini juga, bisa menuju ke kampunya Obahorok di Pabuma.
Kediaman Obahorok dengan cerita tentang dirinya yang
heroik dan melegenda, lebih menarik dibandingkan dengan air tejun. Di kampungya
yang indah itu, mewakili alam Lembah Baliem. Disini juga pengunjung dapat
melihat dari dekat Buah Merah dan kuburan orang Dani. Belum pernah melihat
kuburan orang Papua pedalaman kan ? Kawasan-kawasan ini saya jelajahi dengan
sepeda. Meski Wamena mahal bagi ukuran orang Indonesia, namun saya akan kembali
lagi kesana karena bagitu banyak yang hendak dikunjungi dan didokumentasikan.
Budaya makan pinang orang Papua
|
Informasi
wisata di Lembah Beliem bisa didapatkan di Kantor Kebudayaan dan Pariwisata
Kebupaten Jayawijaya di Jalan Bhayangkara, Wamena.
Pernah
nonton film "senandung di atas awan". Dimana ibu denias meninggal
akibat rumah terbakar, sehingga membuat kesedihan yang mendalam kepada denias
dan ayahnya, kemudian ayahnya memotong jari sebagai tradisi atas kehilangan
anggota keluarga karena meningal.
Bagi umumnya masyarakat pengunungan tengah dan khususnya masyarakat Wamena di Papua, ungkapan kesedihan akibat kehilangan salah satu anggota keluarga tidak hanya dengan menangis saja.
Biasanya mereka akan melumuri dirinya dengan lumpur untuk jangka waktu tertentu. Namun yang membuat budaya mereka berbeda dengan budaya kebanyakan suku di daerah lain adalah memotong jari mereka.
Bagi masyarakat pengunungan tengah, pemotongan jari dilakukan apabila anggota keluarga terdekat seperti suami, istri, ayah, ibu, anak, kakak, atau adik meninggal dunia.
Pemotongan jari ini melambangkan kepedihan dan sakitnya bila kehilangan anggota keluarga yang dicintai. Ungkapan yang begitu mendalam, bahkan harus kehilangan anggota tubuh. Bagi masyarakat pegunungan tengah, keluarga memiliki peranan yang sangat penting.
Bagi masyarakat Baliem Jayawijaya kebersamaan dalam sebuah keluarga memiliki nilai-nilai tersendiri. pemotongan jari itu umumnya dilakukan oleh kaum ibu. Namun tidak menutup kemungkinan pemotongan jari dilakukan oleh anggota keluarga dari pihak orang tua laki-laki atau pun perempuan.
Pemotongan jari tersebut dapat pula diartikan sebagai upaya untuk mencegah 'terulang kembali' malapetaka yang telah merenggut nyawa seseorang di dalam keluarga yang berduka.
Pemotongan jari dilakukan dengan berbagai cara. Ada yang memotong jari dengan menggunakan alat tajam seperti pisau, parang, atau kapak.
Cara lainnya adalah dengan mengikat jari dengan seutas tali beberapa waktu lamanya sehingga jaringan yang terikat menjadi mati kemudian dipotong.
Namun kini budaya 'potong jari' sudah ditinggalkan. sekarang jarang ditemui orang yang melakukannya beberapa dekade belakangan ini.
Bagi umumnya masyarakat pengunungan tengah dan khususnya masyarakat Wamena di Papua, ungkapan kesedihan akibat kehilangan salah satu anggota keluarga tidak hanya dengan menangis saja.
Biasanya mereka akan melumuri dirinya dengan lumpur untuk jangka waktu tertentu. Namun yang membuat budaya mereka berbeda dengan budaya kebanyakan suku di daerah lain adalah memotong jari mereka.
Bagi masyarakat pengunungan tengah, pemotongan jari dilakukan apabila anggota keluarga terdekat seperti suami, istri, ayah, ibu, anak, kakak, atau adik meninggal dunia.
Pemotongan jari ini melambangkan kepedihan dan sakitnya bila kehilangan anggota keluarga yang dicintai. Ungkapan yang begitu mendalam, bahkan harus kehilangan anggota tubuh. Bagi masyarakat pegunungan tengah, keluarga memiliki peranan yang sangat penting.
Bagi masyarakat Baliem Jayawijaya kebersamaan dalam sebuah keluarga memiliki nilai-nilai tersendiri. pemotongan jari itu umumnya dilakukan oleh kaum ibu. Namun tidak menutup kemungkinan pemotongan jari dilakukan oleh anggota keluarga dari pihak orang tua laki-laki atau pun perempuan.
Pemotongan jari tersebut dapat pula diartikan sebagai upaya untuk mencegah 'terulang kembali' malapetaka yang telah merenggut nyawa seseorang di dalam keluarga yang berduka.
Pemotongan jari dilakukan dengan berbagai cara. Ada yang memotong jari dengan menggunakan alat tajam seperti pisau, parang, atau kapak.
Cara lainnya adalah dengan mengikat jari dengan seutas tali beberapa waktu lamanya sehingga jaringan yang terikat menjadi mati kemudian dipotong.
Namun kini budaya 'potong jari' sudah ditinggalkan. sekarang jarang ditemui orang yang melakukannya beberapa dekade belakangan ini.
No comments:
Post a Comment