Tari
Lima Serangkai
|
Secara umum, tari pada
masyarakat Karo disebut “Landek”. Dalam budaya Karo, penyajian Landek sangat
kontekstual. Dengan kata lain, keberadaan Landek ditentukan dengan konteks
penyajiannya. Selain itu setiap gerakan-gerakan dalam Landek dalam masyarakat
Karo juga berhubungan dengan perlambangan-perlambangan dan makna-makna
tertentu.
Beberapa makna gerakan dalam Tari (Landek) Karo:
- Gerak tangan kiri naik, gerak tangan kanan ke bawah, melambangkan tengah rukur, maknanya adalah menimbang-nimbang sebelum berbuat.
- Gerakan tangan kanan ke atas, gerakan tangan kiri ke bawah melambangkan sisampat-sampaten, maknanya adalah saling tolong-menolong dan saling membantu.
- Gerakan tangan kiri ke kanan ke depan melambangkan ise pa la banci ndeher adi langa sioraten, artinya siapa pun tak boleh mendekat jika belum tahu hubungan kekerabatan, atau sama seperti istilah tak kenal maka tak sayang,
- Gerakan tangan memutar dan mengepal melambangkan perarihen enteguh, yaitu mengutamakan persatuan, kesatuan, dan musyawarah untuk mencapai mufakat,
- Gerakan tangan ke atas, melambangkan ise pe la banci ndeher, siapa pun tak bisa mendekat dan berbuat secara sembarangan,
- Gerak tangan sampai ke kepala dan membentuk posisi seperti burung merak, melambangkan beren rukur, yang maknanya adalah menimbang-nimbang sebelum memutuskan, pikir dahulu pendapatan, sesal kemudian tidak berguna,
- Gerak tangan kanan dan kiri sampai di bahu melambangkan beban simberat ras simenahang ras ibaba, artinya mampu berbuat harus mampu pula menanggung akibatnya, atau berarti juga sebagai rasa sepenanggungan,
- Gerakan tangan di pinggang melambangkan penuh tanggung jawab, dan
- Gerakan tangan kiri dan tangan kanan ke tengah posisi badan berdiri melambangkan ise pe reh adi enggo ertutur ialo-alo alu mehuli, maknanya tanpa memandang bulu siapa pun manusianya apabila sudah berkenalan akan diterima dengan segala senang hati.
Pola-pola dasar Landek pada masyarakat Karo terbentuk atas 3 (tiga)
unsur, yakni: endek (gerakan menekuk lutut), odak
atau pengodak (gerakan langkah kaki), dan ole atau
jemolah jemole (goyangan/ayunan badan). Unsur lainnya yang juga
membentuk keindahan tari Karo adalah lempir tan (gemulai tangan),
dan ncemet jari (lentik jari).
Endek
merupakan salah satu unsur penting dalam tari Karo. Endek dibentuk dengan
gerakan menekuk lutut kebawah dan kembali lagi keatas. Gerakan itu
mengakibatkan posisi tubuh bergerak keatas dan kebawah secara vertikal. Gerakan
endek itu harus disesuaikan dengan buku gendang
(bunyi gung dan bunyi penganak dalam permainan musik Karo yang sedang
mengiringi). Ketepatan posisi endek dalam kaitannya dengan buku
gendang merupakan sebuah keharusan untuk memperlihatkan
keindahan dalam tari Karo, di beberapa Landek penyesuaian itu bisa terlihat
ketika gung dan penganak berbunyi tubuh penari sudah atau sedang berada di
posisi atas.
Odak
atau pengodak adalah gerakan penari ketika melangkah maju dan
mundur, maupun melangkah serong kekiri atau kekanan. Odak harus
dimulai dengan gerakan kaki kanan, serta dilakukan pada saat gung
(Gong) berbunyi. Dalam gerakan odak atau pengodak,
unsur endek seperti yang telah dijelaskan di atas harus tetap terlihat,
Maksudnya, ketika penari melakukan odak (melangkah), penari tersebut tetap
melakukan endek dalam upaya penyesuaian gerakan odak dengan musik.
Sementara
itu, Ole atau jemolah jemole merupakan gerakan goyangan atau
ayunan badan kedepan dan ke belakang, atau kesamping kiri dan kanan. Gerakan
ole juga mengikuti bunyi gung dan penganak.
Dari penjelasan diatas, diketahui bahawa bunyi gung dan penganak
merupakan patokan dasar bagi seorang penari Karo untuk melakukan endek, odak,
maupun ole. Sedangkan, unsur-unsur lempir tan maupun ncemet jari
merupakan unsur pendukung untuk memperindah tari. Lempir tan diperlukan
ketika akan membentuk pola gerak tertentu dari tari Karo, misalnya ketika
posisi kedua tangan diatas bahu. Sedangkan ncemet jari diperlukan saat
melakukan petik (gerakan tangan mengepal), dan pucuk (jari diletakkan dimuka
kening penari) terutama pada tari muda-mudi.
Dalam tarian Karo, geseran kaki, goyang pinggang/pinggul, dan main mata tidak
diperbolehkan, kerana dianggap tidak sopan dan melanggar norma-norma adat
istiadat masyarakat Karo. Idealnya dalam menarikan tarian Karo, gerakan kaki
harus dilakukan dengan melangkah atau odak, gerakan pinggang harus mengikuti
ayunan badan atau ole, serta pandangan mata penari hanya boleh mengarah
diagonal kebawah, tertuju pada lutut pasangan menarinya
Namun belakangan ini, dalam budaya kontemporer Karo, terutama setelah
populernya lagu-lagu Karo versi baru, maka terciptalah beberapa tari baru
dengan peraturan tertentu, seperti Piso
Surit, Tari Terang Bulan, Tari Mbuah Page, dan lain-lain. Dengan
demikian secara otomatis terjadi juga perubahan-perubahan norma dalam budaya
tari Karo dalam konteks global.
Seni
tari dan gerak merupakan gabungan antara seni rupa dan seni suara yang dapat
dinikmati oleh manusia melalui mata maupun telinga. Seni tari yang berkembang
di masyarakat Karo dilihat dari bentuk dan acara penampilannya dapat dibedakan
atas 3 jenis yaitu:
1.Tari yang Berkaitan dengan Adat/ Komunal
Tari yang berkaitan dengan adat adalah tari yang merupakan bagian
dari suatu upacara adat. Upacara yang dimaksud adalah upacara memasuki rumah
baru, pesta perkawinan, upacara kematian dan lain-lain. Tarian adat yang
bersifat komunal biasanya dilakukan oleh kelompok merga atau
kelompok sangkep nggeluh, bersama-sama dengan kelompok sukut
(pemilik hajatan/tuan rumah), masing-masing kelompok menari dengan posisi
berhadap-hadapan. Bagi kelompok sukut tarian itu merupakan tarian penyambutan
atau penghormatan atas kehadiran tamu-tamu adat. Sedangkan bagi kelompok tamu
adat, tarian ini merupakan aktivitas pembuka sebelum mereka menyampaikan
kata-kata adat (berisikan pesan dan nasehat) kepada keluarga yang memiliki
hajatan.
2.Tari yang Berkaitan dengan Religi/Ritual
Tari yang berkaitan dengan ritual ini biasanya dibawakan
oleh seorang Guru sibaso (dukun) dalam upacara ritual. Tari yang
dibawakan oleh Guru, disesuaikan dengan keperluan atau jenis upacara yang
dilaksanakan. Beberapa tari Karo yang berkaitan dengan upacara ritual adalah; Tari
tungkat (tari untuk mengusir roh-roh jahat), Tari njujung
baka (tari yang menggunakan keranjang yang berisi sesaji untuk
persembahan), Tari seluk (tarian kesurupan), dan lain
sebagainya.Upacara yang berkaitan dengan ritual yang dilakonkan oleh Guru
sibaso (dukun), adalah berdasarkan tuntunan ilmu atau roh penuntunnya.
Kerana ketika seorang guru (dukun) memimpin upacara, biasanya
beliau memanggil jinujung-nya (junjungan-nya) untuk ‘masuk’ ke
dalam dirinya. sehingga gerakan tarinya tidak lagi memiliki struktur yang baku,
berbeda dengan pola gerak tari Karo pada umumnya. Tetapi secara umum gerakan
yang khas pada tarian ini adalah gerakan murjah-urjah (melompat
dengan mengangkat kaki secara bergantian).
3.Tari Yang Berkaitan Dengan Hiburan
Tari Karo yang sifatnya hiburan biasanya ditarikan oleh dua orang
atau lebih muda-mudi dengan cara berpasang-pasangan, diantaranya adalah: Tari
pecat-pecat seberaya, Tari piso surit, Tari roti manis, dan lain
sebagainya. Tari-tarian jenis ini pada umunya sudah memiliki komposisi yang
baku, dengan kata lain koreografinya telah tersusun dengan
tetap. Tari-tarian hiburan lain yang sangat digemari oleh masyarakat Karo,
diantaranya adalah Ndikar (tari pencak silat), Adu
Perkolong-kolong (tarian yang dibawakan oleh sepasang Perkolong-kolong
dan melakukan aksi atau cerita lucu yang menghibur), serta Gundala-gundala
(drama tari topeng Karo).
Jenis-Jenis Tarian.
Jenis-Jenis Tarian.
Tari
erpangir ku lau
|
Kerja erdemu bayu
(perkawinan), Merdang merdem atau kerja tahun (upacara
pertanian), Nurun-nurun (upacara kematian) ,Guro-guro aron
(muda-mudi),Ersimbu (upacara memanggil hujan), Mengket rumah mbaru
(meresmikan rumah baru),Ngukal tulan-tulan (menggali tulang),Ngalo-ngalo.,Gendang
guru (dukun), Seluk (trance), Perumah begu (memanggil roh), Tari
Tontonan, Erpangir ku lau (keramas, bathing
ceremony), Perodak-odak, Tari tungkat, Tari baka, Tari
Tontonan ,Perkolong-kolong (permangga-mangga), Mayan atau Ndikkar (seni
bela diri khas Karo), Tari Kuda-Kuda (Simalungun:
Hoda-Hoda), Gundala-gundala (Tembut-tembut Seberaya), Tari Kreasi
Baru,Tari Erpangir Ku lau, Tari roti manisari terang bulan,Tari lima
serangke,Tari telu serangke,Tari uis gara, Tari Sigundari(tari-tarian yang
diciptakan berdasarkan lagu-lagu popular Karo, termasuk gendang kibot).
Karya Seni Suku Karo
Sebagai masyarakat yang telah
menetap, tentu saja, masyarakat Karo juga telah menghasilkan karya-karya
sebagai apresiasi jiwa seninya. Hal ini tentu tampak dari hasil karya seninya.
Beberapa karya seni yang berkembang dalam masyarakat Karo adalah Seni suara,
Seni gerak, Seni tenun, Seni bangunan, dan Seni sastra.
Berikut adalah keterangan singkatnya

01. Seni Suara (Erkata Gendang)
Diketahui bahwa sebelum tahun 1800-an suku Karo belum mengenal seni suara secara mendalam. Namun, setelah melalui perjalanan waktu yang panjang, muncullah tanda-tanda nyata seni suara tersebut. Sebagai awalnya, masih berupa vokal panjang seperti memanggil seseorang , memanggil binatang peliharaan, menghalau burung, dan lain sebaginya. Dapat dikatakan suara-suara tersebut bersahut-sahutan dan ditemukan nada tertentu. Dari suara yang bersahut-sahutan timbullah seni suara walaupun masih belum memiliki tempo dan nada yang biasa. Dan, ketika satu lagu muncul maka lagu-lagu lainnya juga akan turut mengikut. Kemudian seiring berjalannya waktu timbullah orang yang memiliki keahlian menyanyi dan menggelutinya sebagai profesi yang kerap dipanggil sebagai perende-ende. Lagu ini masih berbau sedih dan digunakan untuk mengantar suatu cerita, doa, dan syukur, serta masih sejenis baik yang dinyanyikan oleh wanita maupun pria.
Diketahui bahwa sebelum tahun 1800-an suku Karo belum mengenal seni suara secara mendalam. Namun, setelah melalui perjalanan waktu yang panjang, muncullah tanda-tanda nyata seni suara tersebut. Sebagai awalnya, masih berupa vokal panjang seperti memanggil seseorang , memanggil binatang peliharaan, menghalau burung, dan lain sebaginya. Dapat dikatakan suara-suara tersebut bersahut-sahutan dan ditemukan nada tertentu. Dari suara yang bersahut-sahutan timbullah seni suara walaupun masih belum memiliki tempo dan nada yang biasa. Dan, ketika satu lagu muncul maka lagu-lagu lainnya juga akan turut mengikut. Kemudian seiring berjalannya waktu timbullah orang yang memiliki keahlian menyanyi dan menggelutinya sebagai profesi yang kerap dipanggil sebagai perende-ende. Lagu ini masih berbau sedih dan digunakan untuk mengantar suatu cerita, doa, dan syukur, serta masih sejenis baik yang dinyanyikan oleh wanita maupun pria.
02. Seni Gerak/ Tari (Landek/
Perkolong-kolong)
Dalam bahasa Karo, tari disebut landek. Pola dasar dari tari Karo ialah: posisi tubuh, gerakan tangan, gerakan naik turun (endek) disesuaikan dengan tempo gendang dan gerak kaki. Pola dasar tari itu harus pula ditambah variasi tertentu sehingga tarian tersebut menarik dan indah.
Dalam bahasa Karo, tari disebut landek. Pola dasar dari tari Karo ialah: posisi tubuh, gerakan tangan, gerakan naik turun (endek) disesuaikan dengan tempo gendang dan gerak kaki. Pola dasar tari itu harus pula ditambah variasi tertentu sehingga tarian tersebut menarik dan indah.
Tari tradisional Karo dilihat dari
bentuk dan acara penampilannya dapat dibedakan atas tugas jenis yakni:
1. Tari yang berkaitan dengan adat
Tari yang berkaitan dengan adat ialah tari yang dibawakan sewaktu adanya kegiatan adat. Misalnya, pada acara memasuki rumah baru disertai pemukulan gendang, pesta perkawinan, acara kematian, dan lain sebaginya. Tari adat biasanya dilakukan bersama kelompok marga atau kelompok sangkep nggeluh. Titik berat dalam penampilan tari pada acara adat ialah keseragaman dan kesopanan tanpa mengabaikan unsur keindahan. Hal tersebut dikarenakan tari dan gendang peranannya ialah untuk mengantarkan kelompok yang menari menyampaikan sepatah kata bagi keluarga yang mengadakan acara adat. Jadi tari yang dibawakan bukan untuk hiburan namun disisi lalin sebagai pelengkap kata dan untuk menarik perhatian semua orang yang hadir.
Tari yang berkaitan dengan adat ialah tari yang dibawakan sewaktu adanya kegiatan adat. Misalnya, pada acara memasuki rumah baru disertai pemukulan gendang, pesta perkawinan, acara kematian, dan lain sebaginya. Tari adat biasanya dilakukan bersama kelompok marga atau kelompok sangkep nggeluh. Titik berat dalam penampilan tari pada acara adat ialah keseragaman dan kesopanan tanpa mengabaikan unsur keindahan. Hal tersebut dikarenakan tari dan gendang peranannya ialah untuk mengantarkan kelompok yang menari menyampaikan sepatah kata bagi keluarga yang mengadakan acara adat. Jadi tari yang dibawakan bukan untuk hiburan namun disisi lalin sebagai pelengkap kata dan untuk menarik perhatian semua orang yang hadir.
2. Tari yang berkaitan dengan religi
Tari yang berkaitan dengan religi biasanya dibawakan oleh datu (guru) yang pada saat-saat tertentu boleh diikuti oleh keluarga pelaksana acara religi. Tari yang dibawakan oleh datu, dukun, atau guru, disesuaikan dengan tari khusus bercorak religi, seperti: Tari Mulih-mulih, tari Tungkat, tari Erpangir ku Lau, tari Baka, tari Begu Deleng, tari Muncang, dan sebagainya.
Tari yang berkaitan dengan religi biasanya dibawakan oleh datu (guru) yang pada saat-saat tertentu boleh diikuti oleh keluarga pelaksana acara religi. Tari yang dibawakan oleh datu, dukun, atau guru, disesuaikan dengan tari khusus bercorak religi, seperti: Tari Mulih-mulih, tari Tungkat, tari Erpangir ku Lau, tari Baka, tari Begu Deleng, tari Muncang, dan sebagainya.
Semua gerakan tarian religi
gerakannya disesuaikan dengan pengiring dan guru yang melakonkannya seperti
kebiasaan di samping tekanan ilmu dan roh pengikutnya. Jadi jelas bahwa gerakan
itu tidak merupakan gerakan yang teratur berdasarkan tata cara secara umum.
3. Tari yang berkaitan dengan
hiburan
Tari yang berkaitan dengan hiburan dapat digolongkan sebagai tari umum. Penampilan tari itu agak luwes namun tidak terlepas dari unsur kehormatan, keserasian, dan keindahan. Tari yang sifatnya hiburan dibawakan oleh sepasang atau lebih muda-mudi, biasa juga dilakukan secara kelompok (aron).
Tari yang berkaitan dengan hiburan dapat digolongkan sebagai tari umum. Penampilan tari itu agak luwes namun tidak terlepas dari unsur kehormatan, keserasian, dan keindahan. Tari yang sifatnya hiburan dibawakan oleh sepasang atau lebih muda-mudi, biasa juga dilakukan secara kelompok (aron).
Tari yang bersifatnya hiburan
mencakup bermacam jenis tari. Tari Topeng (gundala-gundala) salah satu tari
yang dibawakan penari khusus yang berpengalaman. Tari Gundala-gundala tidak
hanya menunjukkan gerak tetapi juga mengandung unsur ceria.
03. Seni Tenun (Mbayu)
Pakaian tradisional Karo merupakan salah satu unsur kebudayaan Karo pakaian Karo memiliki banyak ragan dan tentu saja guna yang berbeda juga. Pakaian ini di tenun oleh para wanita Karo dengan menggunakan kembaya (semacam kapas) yang dijadikan benang dan dicelup dengan alat pewarna yang dibuat dari bahan kapur, abu dapur, kunyit, dan telep (semacam tumbuhan).
Pakaian tradisional Karo merupakan salah satu unsur kebudayaan Karo pakaian Karo memiliki banyak ragan dan tentu saja guna yang berbeda juga. Pakaian ini di tenun oleh para wanita Karo dengan menggunakan kembaya (semacam kapas) yang dijadikan benang dan dicelup dengan alat pewarna yang dibuat dari bahan kapur, abu dapur, kunyit, dan telep (semacam tumbuhan).
Secara umum pakaian tradisional Karo
dapat dibagi tiga bagian, yaitu: pakaian sehari hari, pakaian untuk pesta, dan
pakaian kebesaran. Pakaian sehari terdiri dari pakaian untuk pria yaitu batu
gunting cina lengan panjang, tutup kepala yang disebut tengkuluk atau bulang
serta sarung. Sedangkan untuk wanita terdiri dari baju kebaya leher bulat,
sarung (abit), tutup kepala (tudung), dan kain adat bernama Uis Gara yang
diselempangkan. Pakaian pesta hampir sama dengan pakaian sehari-hari. Hanya
saja, pakaian pesta lebih bersih atau baru dan dikenakan dengan sopan. Dan,
pakaian kebesaran terdiri dari pakaian-pakaian yang lengkap serta digunakan
pada saat pesta seperti pesta perkawinan, memasuki rumah baru, upacara
kematian, dan pesta kesenian.
Ragam atau jenis pakaian tradisional
Karo ialah sebagai berikut :
1. Uis Arinteneng
Uis Arinteneng terbuat dari kapas atau kembayat yang ditenun. Warnanya hitam pekat hasil pencelupan yang disebut ipelabuhken. Pakaian ini digunakan untuk alas pinggan pasu-pasu tempat Emas Kawin, alas pinggan pasu tempat makanan bagi pengantin sewaktu acara mukul (acara makan bersama) pada malam setelah selesai pesta adat, sebagai pembalut tiang pada peresmian atau acara memasuki adat rumah, dan membayar hutang adat kepada kalimbubu dalam acara kematian.
Uis Arinteneng terbuat dari kapas atau kembayat yang ditenun. Warnanya hitam pekat hasil pencelupan yang disebut ipelabuhken. Pakaian ini digunakan untuk alas pinggan pasu-pasu tempat Emas Kawin, alas pinggan pasu tempat makanan bagi pengantin sewaktu acara mukul (acara makan bersama) pada malam setelah selesai pesta adat, sebagai pembalut tiang pada peresmian atau acara memasuki adat rumah, dan membayar hutang adat kepada kalimbubu dalam acara kematian.
2. Uis Julu
Bahannya sama dengan bahan Uis Arinteneng. Warnanya hitam dengan corak garis-garis putih berbentuk liris. Keteng-keteng-nya berwarna merah dan hitam disebut Keteng-ketang Bujur. Ada yang disebut keteng-keteng sirat yang diberi ragam corak ukiran. Pinggir ujungnnya memilii rambut (jumbai). Pakaian ini diguanakan sebagai gonje (sarung laki-laki), membayar hutang adat (maneh-maneh), nambari (mengganti) pakaian orang tua laki-laki, dan untuk selimut (cabin).
Bahannya sama dengan bahan Uis Arinteneng. Warnanya hitam dengan corak garis-garis putih berbentuk liris. Keteng-keteng-nya berwarna merah dan hitam disebut Keteng-ketang Bujur. Ada yang disebut keteng-keteng sirat yang diberi ragam corak ukiran. Pinggir ujungnnya memilii rambut (jumbai). Pakaian ini diguanakan sebagai gonje (sarung laki-laki), membayar hutang adat (maneh-maneh), nambari (mengganti) pakaian orang tua laki-laki, dan untuk selimut (cabin).
3. Uis Teba
Hampir sama dengan sama dengan uis julu. Perbedaannya ialah garis-garis Uis Teba agak jarang sedangkan Uis Julu agak rapat. Warnanya hitam, pinggiran ujungnya memiliki rambu/jumbai. Pakaian ini juga diketeng-keteng, warnanya merah putih ada juga yang berukir dan tebal. Pakaian ini digunakan untuk maneh-maneh; bagi perempuan yang meninggal, tudung bagi perempuan, mengganti pakaian orang tua (bagi ibu), dan alas pinggan tempat emas kawin sewaktu melaksanakan pembayaran kepada pihak mempelai perempuan.
Hampir sama dengan sama dengan uis julu. Perbedaannya ialah garis-garis Uis Teba agak jarang sedangkan Uis Julu agak rapat. Warnanya hitam, pinggiran ujungnya memiliki rambu/jumbai. Pakaian ini juga diketeng-keteng, warnanya merah putih ada juga yang berukir dan tebal. Pakaian ini digunakan untuk maneh-maneh; bagi perempuan yang meninggal, tudung bagi perempuan, mengganti pakaian orang tua (bagi ibu), dan alas pinggan tempat emas kawin sewaktu melaksanakan pembayaran kepada pihak mempelai perempuan.
4. Uis Batu Jala, dan
pakaian-pakaian yang lain seperti Uis Kelam-kelam, Uis Beka Buluh, Uis Gobar
Dibata, Uis Pengalkal, Gatib Gewang, Uis Kapal Jongkit, Gatip Cukcak, Uis
Gara-Gara, Uis Perembah, Uis Jujung-Jujungen, Uis Nipes Ragi Mbacang, uis Nipes
Padang Rusak, Uis Nipes Mangiring, dan Uis Nipes Benang Iring.
04. Seni Sastra
Bahasa Karo adalah bahasa sehari-hari yang digunakan oleh masyarakat Karo. Ruang lingkup penggunaan bahasa tersebut hanya pada tempat tinggal yang masyarakatnya mayoritas suku-suku Karo. Dalam percakapan sehari-hari, masyarakat Karo tidak memerlukan susunan bahasa yang teratur sekali. Yang perlu adalah pemahaman tentang bahasa yang digunakan.
Kendatipun demikian, penggunaan bahasa Karo yang benar dan baik tetap diperlukan karena dengan cara demikian akan memberikan suatu gambaran bagi pendengar bahwa yang berbicara memiliki wibawa serta dapat dipercaya. Pemilihan dan penempatan kata-kata yang tepat pada suatu kalimat akan menciptakan suasana tersendiri, dengan kata lalin di dalamnya telah terdapat unsur yang menarik dan indah didengar. Itu telah berarti terjalinnya suatu bahasa bernilai seni sastra atau kesusastraan. Seni sastra itu sendiri dalam bahasa Karo dapat digolongkan dengan pengertian Cakap-Lumat.Seni sastra (cakap lumat)oleh masyarakat Karo digunakan dalam suasana tertentu. Untuk lebih memperindah dan untuk membuat lebih menarik, seni sastra yang digunakan terkadang harus diselang-selingi dengan pepatah, perumpamaan, pantun, dan gurindam.
Hasil karya sastra masyarakat Karo umumnya terlestarikan lewat mulut- ke mulut dan saat ini sudah ada beberapa hasil karya tersebut yang dibukukan. Hasil tersebut, baik dalam rupa pantun, gurindam, perbandingan (anding-anding), bintang-bintang (mirip dengan pantun), bilang-bilang (cetusan rasa sedih), cerita berupa mitos, dan legenda. Beberapa cerita, dongeng, dan legenda yang telah jamak dikenal oleh masyarakat Karo adalah;cerita Putri Hijau, Sibayak Barusjahe, Pawang Ternalem Guru Pertawar Reme, Si Beru Rengga Kuning, dan Si Beru Karo Basukum.
Bahasa Karo adalah bahasa sehari-hari yang digunakan oleh masyarakat Karo. Ruang lingkup penggunaan bahasa tersebut hanya pada tempat tinggal yang masyarakatnya mayoritas suku-suku Karo. Dalam percakapan sehari-hari, masyarakat Karo tidak memerlukan susunan bahasa yang teratur sekali. Yang perlu adalah pemahaman tentang bahasa yang digunakan.
Kendatipun demikian, penggunaan bahasa Karo yang benar dan baik tetap diperlukan karena dengan cara demikian akan memberikan suatu gambaran bagi pendengar bahwa yang berbicara memiliki wibawa serta dapat dipercaya. Pemilihan dan penempatan kata-kata yang tepat pada suatu kalimat akan menciptakan suasana tersendiri, dengan kata lalin di dalamnya telah terdapat unsur yang menarik dan indah didengar. Itu telah berarti terjalinnya suatu bahasa bernilai seni sastra atau kesusastraan. Seni sastra itu sendiri dalam bahasa Karo dapat digolongkan dengan pengertian Cakap-Lumat.Seni sastra (cakap lumat)oleh masyarakat Karo digunakan dalam suasana tertentu. Untuk lebih memperindah dan untuk membuat lebih menarik, seni sastra yang digunakan terkadang harus diselang-selingi dengan pepatah, perumpamaan, pantun, dan gurindam.
Hasil karya sastra masyarakat Karo umumnya terlestarikan lewat mulut- ke mulut dan saat ini sudah ada beberapa hasil karya tersebut yang dibukukan. Hasil tersebut, baik dalam rupa pantun, gurindam, perbandingan (anding-anding), bintang-bintang (mirip dengan pantun), bilang-bilang (cetusan rasa sedih), cerita berupa mitos, dan legenda. Beberapa cerita, dongeng, dan legenda yang telah jamak dikenal oleh masyarakat Karo adalah;cerita Putri Hijau, Sibayak Barusjahe, Pawang Ternalem Guru Pertawar Reme, Si Beru Rengga Kuning, dan Si Beru Karo Basukum.
05. Seni Ukir
Walaupun kehidupan masyarakat Karo pada waktu dulu dalam keadaan serba sederhana, namun beberapa orang seniman mampu menyumbangkan karyanya. Karya itu umumnya dimulai dengan sederhana dan dengan maksud untuk menolak bala, menangkal roh jahat, dan untuk dipercaya memiliki kemampuan pengobatan. Kemudian dalam perkembangannya dari waktu ke waktu, kebiasaan membuat ukiran tersebut tidak lagi dipandang dari segi kekuatan daya penangkalnya. Lukisan itu telah dipandang sebagai suatu yang memiliki keindahan sehingga dikembangkan sebagai karya seni. Paling tidak ada empat tempat karya seni ini ditempatkan, yaitu: pada bangunan tradisional Karo (rumah adat, jambur, geriken, dan gereta guro-guro aron), pada benda-benda pecah-belah (gantang beru-beru, cimba lau, abal-abal, busan, petak, tagan, kampil, dan alat kesenian), pada pakaian adat Karo (uis kapal, uis nipes, dan baju), dan pada berbagai benda perhiaan (gelang, cincin, kalung, pisau, ikat pinggang, dan lain sebagainya).
Bila dilihat dari bentuk nama ukiran Karo, beberapa di antaranya tercipta atas dorongan dan pengaruh lingkungan alam, manusia, binatang, dan tumbuh-tumbuhan. Hal ini dapat dibuktikan atas adanya bentuk dan nama ukiran tersebut. Ragam ornamen Karo relatif banyak beberapa di antaranya adalah: tupak salah silima-lima, tupak salah sipitu-pitu, desa siwaluh, panai, bindu metagah, bindu matoguh, tapak raja Sulaiman, pantil manggus, indung-indung simata, tulak paku petundal, lipan nangkih tongkeh, kite-kite perkis, tutup dadu/cimba lau, cenkili kambing, Ipen-ipen, lukisan suki, pucuk merbung bunga bincole, surat buta, pengretret, bendi-bendi (pengalo-ngalo), embun sikawiten, pucuk tenggiang, litab-litab lembu, lukisan tonggal, keret-keret ketadu, taruk-taruk, kidu-kidu, lukisan pendamaiken, bulang binara, tanduk kerbau payung, bunga gundur, raja Sulaiman, bunga lawang, tudung teger, lukisan umang, lukisan para-para (gundur mangalata), embun sikawiten II, tulak paku, lukisan kurung tendi, osar-osar, ukiren sisik kaperas, galumbang sitepuken, ukiren kaba-kaba, likisen tagan, dan masih banyak lagi jenis ornamen yang lain.
Walaupun kehidupan masyarakat Karo pada waktu dulu dalam keadaan serba sederhana, namun beberapa orang seniman mampu menyumbangkan karyanya. Karya itu umumnya dimulai dengan sederhana dan dengan maksud untuk menolak bala, menangkal roh jahat, dan untuk dipercaya memiliki kemampuan pengobatan. Kemudian dalam perkembangannya dari waktu ke waktu, kebiasaan membuat ukiran tersebut tidak lagi dipandang dari segi kekuatan daya penangkalnya. Lukisan itu telah dipandang sebagai suatu yang memiliki keindahan sehingga dikembangkan sebagai karya seni. Paling tidak ada empat tempat karya seni ini ditempatkan, yaitu: pada bangunan tradisional Karo (rumah adat, jambur, geriken, dan gereta guro-guro aron), pada benda-benda pecah-belah (gantang beru-beru, cimba lau, abal-abal, busan, petak, tagan, kampil, dan alat kesenian), pada pakaian adat Karo (uis kapal, uis nipes, dan baju), dan pada berbagai benda perhiaan (gelang, cincin, kalung, pisau, ikat pinggang, dan lain sebagainya).
Bila dilihat dari bentuk nama ukiran Karo, beberapa di antaranya tercipta atas dorongan dan pengaruh lingkungan alam, manusia, binatang, dan tumbuh-tumbuhan. Hal ini dapat dibuktikan atas adanya bentuk dan nama ukiran tersebut. Ragam ornamen Karo relatif banyak beberapa di antaranya adalah: tupak salah silima-lima, tupak salah sipitu-pitu, desa siwaluh, panai, bindu metagah, bindu matoguh, tapak raja Sulaiman, pantil manggus, indung-indung simata, tulak paku petundal, lipan nangkih tongkeh, kite-kite perkis, tutup dadu/cimba lau, cenkili kambing, Ipen-ipen, lukisan suki, pucuk merbung bunga bincole, surat buta, pengretret, bendi-bendi (pengalo-ngalo), embun sikawiten, pucuk tenggiang, litab-litab lembu, lukisan tonggal, keret-keret ketadu, taruk-taruk, kidu-kidu, lukisan pendamaiken, bulang binara, tanduk kerbau payung, bunga gundur, raja Sulaiman, bunga lawang, tudung teger, lukisan umang, lukisan para-para (gundur mangalata), embun sikawiten II, tulak paku, lukisan kurung tendi, osar-osar, ukiren sisik kaperas, galumbang sitepuken, ukiren kaba-kaba, likisen tagan, dan masih banyak lagi jenis ornamen yang lain.
06. Seni Musik
Di samping hasil karya seni yang telah diterangkan di atas, seni musik juga berkembang dalam masyarakat Karo. Sebagaimana diketahui, bahwa masyarakat Karo sejak dahulu telah mengenal seni musik. Identitas masyarakat Karo juga terbukti dari berbagai jenis alat musik. Seni musik tersebut dibuat dari bahan-bahan yang dapat diperoleh dari alam sekitar.
Gendang Karo disebut dengan lima sedalinen artinya seperangkat gendang yang terdiri dari lima bagian.
Di samping hasil karya seni yang telah diterangkan di atas, seni musik juga berkembang dalam masyarakat Karo. Sebagaimana diketahui, bahwa masyarakat Karo sejak dahulu telah mengenal seni musik. Identitas masyarakat Karo juga terbukti dari berbagai jenis alat musik. Seni musik tersebut dibuat dari bahan-bahan yang dapat diperoleh dari alam sekitar.
Gendang Karo disebut dengan lima sedalinen artinya seperangkat gendang yang terdiri dari lima bagian.
Bagian itu adalah:
1. Gendang Indungnya
Gendang ini terbuat dari kayu pohon nangka dengan cara melobanginya dari pangkal sampai ke ujung dan dimainkan oleh seorang penabuh. Kemudian lubang pada kedua ujung pangkalnya ditutup dengan kulit napuh (kancil) dan antara bingkai yang satu dan yang lainnya diikat dengan tali. Bingkai gendang tersebut berguna untuk menciptakan tinggi rendahnya suara pukulan. Alat pemukulnya terdiri dari dua buah pemukul yang terbuat dari kayu.
Gendang ini terbuat dari kayu pohon nangka dengan cara melobanginya dari pangkal sampai ke ujung dan dimainkan oleh seorang penabuh. Kemudian lubang pada kedua ujung pangkalnya ditutup dengan kulit napuh (kancil) dan antara bingkai yang satu dan yang lainnya diikat dengan tali. Bingkai gendang tersebut berguna untuk menciptakan tinggi rendahnya suara pukulan. Alat pemukulnya terdiri dari dua buah pemukul yang terbuat dari kayu.
2. Gendang anaknya
Gendang anakna hampir sama dengan gendang indungnya. Hanya saja, gendang anaknya terdiri dari dua gendang besar dan kecil. Si penabuh memukulnya dengan satu pemukul untuk menabuh yang besar dan satu lagi untuk menabuh yang kecil.
Gendang anakna hampir sama dengan gendang indungnya. Hanya saja, gendang anaknya terdiri dari dua gendang besar dan kecil. Si penabuh memukulnya dengan satu pemukul untuk menabuh yang besar dan satu lagi untuk menabuh yang kecil.
3. Gung (gong)
Gong terbuat dari sejenis logam kuningan atau kangsa. Gong tersebut termasuk besar, garis menengah lingkarannya kira-kira 75 cm dan dipegang oleh seorang tenaga.
Gong terbuat dari sejenis logam kuningan atau kangsa. Gong tersebut termasuk besar, garis menengah lingkarannya kira-kira 75 cm dan dipegang oleh seorang tenaga.
4. Penganak (gong kecil)
Bentuk dan bahan penganak sama dengan gong. Hanya saja, gong (gung) lebih besar dari pada penganak. Garis tengahnya kira-kira 20 cm.
Bentuk dan bahan penganak sama dengan gong. Hanya saja, gong (gung) lebih besar dari pada penganak. Garis tengahnya kira-kira 20 cm.
5. Sarunai
Sarunai adalah salah satu jenis alat musik tiup. Benda in terbuat dari pohon saluntam (semacam perdu) yang dilubangi dari ujung pangkal yang satu ke ujung pangkal yang lain dan diberi lobang pengatur suara.
Sarunai adalah salah satu jenis alat musik tiup. Benda in terbuat dari pohon saluntam (semacam perdu) yang dilubangi dari ujung pangkal yang satu ke ujung pangkal yang lain dan diberi lobang pengatur suara.
07. Seni Bangunan (Mbangun)
Dalam suku Karo, begitu banyak seni bangunan yang dihasilkan. Bukan semata rumah adat tetapi juga banyak lain. Pada dasarnya fungsi dari bangunan lain itu, tidak jauh beda dengan fungsi rumah adat si waluh jabu tersebut.
Dalam suku Karo, begitu banyak seni bangunan yang dihasilkan. Bukan semata rumah adat tetapi juga banyak lain. Pada dasarnya fungsi dari bangunan lain itu, tidak jauh beda dengan fungsi rumah adat si waluh jabu tersebut.
Berikut adalah Beberapa jenis karya
seni bangunan lain dalam masyarakat Karo.
1. Geriten
Geriten adalah rumah kecil yang beratap ijuk berbentuk segi empat dengan empat tiang setinggi l.k. 6 m. Bagian bawah dapat digunakan sebagai tempat duduk dan di sebelah atas khusus untuk tengkorak para leluhur yang disimpan dalam kotak-kotak khusus.
Geriten adalah rumah kecil yang beratap ijuk berbentuk segi empat dengan empat tiang setinggi l.k. 6 m. Bagian bawah dapat digunakan sebagai tempat duduk dan di sebelah atas khusus untuk tengkorak para leluhur yang disimpan dalam kotak-kotak khusus.
2. Jambur
Bangunan agak luas beratap ijuk, yang digunakan sebagai tempat musyawarah keluarga atau ke kerabat atas dasar Dalinken Si Telu. Dan dewasa ini sudah digunakan untuk pesta karo, baik suka cita/ perkawinan dan sebagainya atau duka cita.
Bangunan agak luas beratap ijuk, yang digunakan sebagai tempat musyawarah keluarga atau ke kerabat atas dasar Dalinken Si Telu. Dan dewasa ini sudah digunakan untuk pesta karo, baik suka cita/ perkawinan dan sebagainya atau duka cita.
3. Batang
Batang merupakan tempat padi atau yang sama fungsinya dengan lumbung padi.
Batang merupakan tempat padi atau yang sama fungsinya dengan lumbung padi.
4. Lige-lige
Lige-lige merupakan suatu bangunan yang dibuat dari kayu dan bambu, bersegi empat, dengan tinggi k.l. 15 meter dan di sekelilingnya dipasang daun muda enau (janur). Ini merupakan tempat yang digunakan untuk kuburan bagi para leluhur yang telah mati dan dikuburkan kembali. Acara di tempat ini digunakan dengan menggunakan gendang serune untuk acara tari-tarian atau acara adatnya.
Lige-lige merupakan suatu bangunan yang dibuat dari kayu dan bambu, bersegi empat, dengan tinggi k.l. 15 meter dan di sekelilingnya dipasang daun muda enau (janur). Ini merupakan tempat yang digunakan untuk kuburan bagi para leluhur yang telah mati dan dikuburkan kembali. Acara di tempat ini digunakan dengan menggunakan gendang serune untuk acara tari-tarian atau acara adatnya.
5. Kalimbaban
Kalimbaban memiliki bentuk yang hampir sama dengan lige-lige tepi kalimbaban lebih besar. Dan upacara adat penguburan leluhur pun lebih besar dari pada upacara narik lige-lige.
Kalimbaban memiliki bentuk yang hampir sama dengan lige-lige tepi kalimbaban lebih besar. Dan upacara adat penguburan leluhur pun lebih besar dari pada upacara narik lige-lige.
6. Sapo gunung
Adalah bangunan kecil seperti rumah yang dibangun beratap ijuk digunakan sebagai tempat mayat yang diusung dari rumah duka ke kuburan.
Adalah bangunan kecil seperti rumah yang dibangun beratap ijuk digunakan sebagai tempat mayat yang diusung dari rumah duka ke kuburan.
7. Lipo
Adalah bangunan berbentuk rumah kecil beratap ijuk sebagai kandang ayam dan burung peliharaan.
Adalah bangunan berbentuk rumah kecil beratap ijuk sebagai kandang ayam dan burung peliharaan.
No comments:
Post a Comment