sejarah
ciater(sariater pemandian air panas alam)
Pada
awalnya Tempat Wisata Air Panas Alam Ciater yang sekarang lebih dikenal dengan
sebutan Sari ater Hot Spring Resort adalah Tempat pemandian yang biasa
dipergunakan oleh masyarakat sekitar Ciater,Palasari dan Nagrak.
Pada tahun 1968 Pemda Kabupaten Subang melalui PU Kabupaten bekerjasama dengan Dispenda pelahan-lahan mulai menggarap sumber air panas alam ciater sebagai objek wisata.
Pada tahun 1968 Pemda Kabupaten Subang melalui PU Kabupaten bekerjasama dengan Dispenda pelahan-lahan mulai menggarap sumber air panas alam ciater sebagai objek wisata.
Sebagai
manajer pertama ditetapkan Bapak Sahro dari PU Kabupaten sedangkan jumlah
karyawan pada saat itu kurang lebih hanya 11 orang. Pada tahun 1972 PPN DWIKORA
IV (sekarang ptpn XIII Ciater) membuat 1 buah bangunan untuk kamar mandi dan
pintu gerbang berbentuk joglo yang lengkap dengan kantor dan loket penjualan
tiket.
Pada
tanggal 20 maret 1974 Pemda TK II Kabupaten Subang menyerahkan pengelolaan
Objek Wisata Air Panas Ciater kepada PT.Sari Ater yang dipimpin oleh Bapak H.A
SOEWARMA. manajer pertama yang dipercayakan oleh PT.Sari Ater untuk memimpin
pengelolaan objek wisata Air panas alam Ciater adalah Bapak Gautama, alm(thn
1974 s/d 1975). Jumalah karyawan yang ada pada saat itu kurang lebih 16 orang
dan Seluruh area wisata seluas 7.335 H , yang dikelola dibenahi dan dibuatkan
pagar pembatas dari kawat berduri.
Pada
Tahun 1976, dimulai pembangunan Restaurant Dayang Sumbi, Bungalows kabayan,
sarana parkir dan rekreasi kolam perahu. Pimpinan pada daat itu dipercayakan
kepada manager ketiga yaitu Bapak J.R. Iskandar, Alm(tahun 1976 s/d
1977). Pada tahun 1977 pimpinan usaha dipercayakan kepada Mr.Evandra
alias Bapak Muhammad Effendi seorang ahli berkebangsaan italy (tahun 1977 s/d
1979) dan jumlah karyawan telah meningkat menjadi kurang lebih 70 orang.
Pada
tahun 1980 mulai pembenahan dan pengembangan sarana dan prasarana secara
besar-besaran, pada saat itu dibangun : Kolam Renang bawah atau mayangsari II,
Bungalow Jammbu, Area rekreasi sampai curug Jodo. dengan sumber dana dari
BAPINDO. manager ke IV yang memimpin saat itu adalah Bapak Anton Tirto (tahun
1979 s/d 1985) sedangkan karyawan berjumlah kurang lebih 100 orang.
Manager
ke VI dijabat oleh Bapak Ruby dan pada tahun 1987 pimpinan diserahkan kepada
Bapak Herrie Hermanni dengan jabatan sebagai Operational Manager. Pada tanggal
24 oktober 1994 dilakukan Restrukturisasi organisasi dan ditetapkan seorang
General Manager untuk memimpin hotel dan objek wisata Sari Ater dengan nama
Sari Ater Hot Spring Resort. Sebagai general manager yang pertama ditetapkan
Bapak Herrie Hermanni dengan jumlah karyawan pada saat itu 333 orang sedangkan
luas kawasan hotel dan objek wisata telah menjadi 32 Ha.
Pada
tahun 1998 dibangun kembali satu fasilitas air panas alam di area rekreasi
dengan nama Pulosari, dengan daya tampung untuk 500 orang dan diresmikan oleh
Bupati tingkat II subang Bapak Drs. H.Abdul Wahyan tepatnya pada tanggal 25
Juli 1998.
Sampai
sekarang hotel dan objek wisata air panas alam Sari Ater lebih terkenal dengan
sebutan
Sejarah
Prasejarah
Bukti adanya kelompok masyarakat
pada masa prasejarah di wilayah Kabupaten Subang adalah ditemukannya kapak batu
di daerah Bojongkeding (Binong), Pagaden, Kalijati dan Dayeuhkolot
(Sagalaherang). Temuan benda-benda prasejarah bercorak neolitikum ini
menandakan bahwa saat itu di wilayah Kabupaten Subang sekarang sudah ada
kelompok masyarakat yang hidup dari sektor pertanian dengan pola sangat
sederhana.
Selain itu, dalam periode prasejarah juga berkembang pula pola kebudayaan perunggu yang ditandai dengan penemuan situs di Kampung Engkel, Sagalaherang.
Selain itu, dalam periode prasejarah juga berkembang pula pola kebudayaan perunggu yang ditandai dengan penemuan situs di Kampung Engkel, Sagalaherang.
Hindu
Pada saat berkembangnya corak
kebudayaan Hindu, wilayah Kabupaten Subang menjadi bagian dari 3 kerajaan,
yakni Tarumanagara, Galuh, dan Pajajaran. Selama berkuasanya 3 kerajaan
tersebut, dari wilayah Kabupaten Subang diperkirakan sudah ada kontak-kontek
dengan beberapa kerajaan maritim hingga di luar kawasan Nusantara. Peninggalan
berupa pecahan-pecahan keramik asal Cina di Patenggeng (Kalijati) membuktikan
bahwa selama abad ke-7 hingga abad ke-15 sudah terjalin kontak perdagangan
dengan wilayah yang jauh. Sumber lain menyebutkan bahwa pada masa tersebut,
wilayah Subang berada di bawah kekuasaan Kerajaan Sunda. Kesaksian Tome’ Pires
seorang Portugis yang mengadakan perjalanan keliling Nusantara menyebutkan
bahwa saat menelusuri pantai utara Jawa, kawasan sebelah timur Sungai Cimanuk hingga
Islam
Masa datangnya pengaruh
kebudayaan Islam di wilayah Subang tidak terlepas dari peran seorang tokoh
ulama, Wangsa Goparana yang berasal dari Talaga, Majalengka. Sekitar tahun
1530, Wangsa Goparana membuka permukiman baru di Sagalaherang dan menyebarkan
agama Islam ke berbagai pelosok Subang.
Kolonialisme
Pasca runtuhnya kerajaan
Pajajaran, wilayah Subang seperti halnya wilayah lain di P. Jawa, menjadi
rebutan berbagai kekuatan. Tercatat kerajaan Banten, Mataram, Sumedanglarang,
VOC, Inggris, dan Kerajaan Belanda berupaya menanamkan pengaruh di daerah yang
cocok untuk dijadikan kawasan perkebunan serta strategis untuk menjangkau
Batavia. Pada saat konflik Mataram-VOC, wilayah Kabupaten Subang, terutama di
kawasan utara, dijadikan jalur logistik bagi pasukan Sultan Agung yang akan
menyerang Batavia. Saat itulah terjadi percampuran budaya antara Jawa dengan
Sunda, karena banyak tentara Sultan Agung yang urung kembali ke Mataram dan
menetap di wilayah Subang. Tahun 1771, saat berada di bawah kekuasaan Kerajaan
Sumedanglarang, di Subang, tepatnya di Pagaden, Pamanukan, dan Ciasem tercatat
seorang bupati yang memerintah secara turun-temurun. Saat pemerintahan Sir
Thomas Stamford Raffles (1811-1816) konsesi penguasaan lahan wilayah Subang
diberikan kepada swasta Eropa. Tahun 1812 tercatat sebagai awal kepemilikan
lahan oleh tuan-tuan tanah yang selanjutnya membentuk perusahaan perkebunan
Pamanoekan en Tjiasemlanden (P & T Lands). Penguasaan lahan yang luas ini
bertahan sekalipun kekuasaan sudah beralih ke tangan pemerintah Kerajaan
Belanda. Lahan yang dikuasai penguasa perkebunan saat itu mencapai 212.900 ha.
dengan hak eigendom. Untuk melaksanakan pemerintahan di daerah ini, pemerintah
Belanda membentuk distrik-distrik yang membawahi onderdistrik. Saat itu, wilayah
Subang berada di bawah pimpinan seorang kontrilor BB (bienenlandsch bestuur)
yang berkedudukan di Subang.
Nasionalisme
Tidak banyak catatan sejarah
pergerakan pada awal abad ke-20 di Kabupaten Subang. Namun demikian, Setelah
Kongres Sarekat Islam di bandung tahun 1916 di Subang berdiri cabang organisasi
Sarekat Islam di Desa Pringkasap (Pabuaran) dan di Sukamandi (Ciasem).
Selanjutnya, pada tahun 1928 berdiri Paguyuban Pasundan yang diketuai
Darmodiharjo (karyawan kantor pos), dengan sekretarisnya Odeng Jayawisastra
(karyawan P & T Lands). Tahun 1930, Odeng Jayawisastra dan rekan-rekannya
mengadakan pemogokan di percetakan P & T Lands yang mengakibatkan aktivitas
percetakan tersebut lumpuh untuk beberapa saat. Akibatnya Odeng Jayawisastra dipecat
sebagai karyawan P & T Lands. Selanjutnya Odeng Jayawisastra dan Tohari
mendirikan cabang Partai Nasional Indonesia yang berkedudukan di Subang.
Sementara itu, Darmodiharjo tahun 1935 mendirikan cabang Nahdlatul Ulama yang
diikuti oleh cabang Parindra dan Partindo di Subang. Saat Gabungan Politik
Indonesia (GAPI) di Jakarta menuntut Indonesia berparlemen, di Bioskop
Sukamandi digelar rapat akbar GAPI Cabang Subang untuk mengenukakan tuntutan
serupa dengan GAPI Pusat.
Jepang
Pendaratan tentara angkatan laut
Jepang di pantai Eretan Timur tanggal 1 Maret 1942 berlanjut dengan direbutnya
pangkalan udara Kalijati. Direbutnya pangkalan ini menjadi catatan tersendiri
bagi sejarah pemerintahan Hindia Belanda, karena tak lama kemudian terjadi
kapitulasi dari tentara Hindia Belanda kepada tentara Jepang. Dengan demikian,
Hindia Belanda di Nusantara serta merta jatuh ke tangan tentara pendudukan
Jepang. Para pejuang pada masa pendudukan Belanda melanjutkan perjuangan
melalui gerakan bawah tanah. Pada masa pendudukan Jepang ini Sukandi (guru
Landschbouw), R. Kartawiguna, dan Sasmita ditangkap dan dibunuh tentara Jepang.
Merdeka
Proklamasi Kemerdekaan RI di
Jakarta berimbas pada didirikannya berbagai badan perjuangan di Subang, antara
lain Badan Keamanan Rakyat (BKR), API, Pesindo, Lasykar Uruh, dan lain-lain,
banyak di antara anggota badan perjuangan ini yang kemudian menjadi anggota
TNI. Saat tentara KNIL kembali menduduki Bandung, para pejuang di Subang
menghadapinya melalui dua front, yakni front selatan (Lembang) dan front barat
(Gunung Putri dan Bekasi). Tahun 1946, Karesidenan Jakarta berkedudukan di
Subang. Pemilihan wilayah ini tentunya didasarkan atas pertimbangan strategi
perjuangan. Residen pertama adalah Sewaka yang kemudian menjadi Gubernur Jawa
Barat. Kemudian Kusnaeni menggantikannya. Bulan Desember 1946 diangkat Kosasih
Purwanegara, tanpa pencabutan Kusnaeni dari jabatannya. Tak lama kemudian
diangkat pula Mukmin sebagai wakil residen. Pada masa gerilya selama Agresi
Militer Belanda I, residen tak pernah jauh meninggalkan Subang, sesuai dengan
garis komando pusat. Bersama para pejuang, saat itu residen bermukim di daerah
Songgom, Surian, dan Cimenteng. Tanggal 26 Oktober 1947 Residen Kosasih
Purwanagara meninggalkan Subang dan pejabat Residen Mukmin yang meninggalkan
Purwakarta tanggal 6 Februari 1948 tidak pernah mengirim berita ke wilayah
perjuangannya. Hal ini mendorong diadakannya rapat pada tanggal 5 April 1948 di
Cimanggu, Desa Cimenteng. Di bawah pimpinan Karlan, rapat memutuskan : 1.Wakil
Residen Mukmin ditunjuk menjadi Residen yang berkedudukan di daerah gerilya
Purwakarta. 2.Wilayah Karawang Timur menjadi Kabupaten Karawang Timur dengan
bupati pertamanya Danta Gandawikarma. 3.Wilayah Karawang Barat menjadi
Kabupaten Karawang Barat dengan bupati pertamanya Syafei. Wilayah Kabupaten
Karawang Timur adalah wilayah Kabupaten Subang dan Kabupaten Purwakarta
sekarang. Saat itu, kedua wilayah tersebut bernama Kabupaten Purwakarta dengan
ibukotanya Subang. Penetapan nama Kabupaten Karawang Timur pada tanggal 5 April
1948 dijadikan momentum untuk kelahiran Kabupaten Subang yang kemudian
ditetapkan melalui Keputusan DPRD No. : 01/SK/DPRD/1977.
Banten adalah wilayah kerajaan
Sunda.
No comments:
Post a Comment