Sunday, July 3, 2016

Keindahan Kota Betuni Dan Wisatanya




bintuni sebagai kabupaten baru kaya akan sumber daya alam yang melimpah, mulai dari tambang sampai keanekaragaman hayati.

“Teluk Bintuni, ibarat ‘Kota Emas’.” Demikian kata (mantan) Bupati Teluk Bintuni, Decky Kawab,SH dalam sambutannya pada pembukaan Musyawarah Adat Teluk Bintuni di Babo pada November 2004. Decky Kawab berulang-ulang kali menegaskan bahwa Teluk Bintuni adalah ‘Kota Emas’ sejak dahulu, kini dan akan datang. Karena selain kekayaan sumberdaya alam yang sudah dan sedang dikelola atas peran banyak investor, juga masih ada kawasan Cagar Alam yang menyimpan banyak susu dan madu untuk masa depan anak cucu di ‘Kota Emas’ Teluk Bintuni. Sementara itu pada kesempatan lain, Sergius Kosamah, KSDA Resort Bintuni mengakui jika Cagar Alam Teluk Bintuni itu ibarat ‘Surga” bagi kepiting, udang, kerang dan aneka jenis satwa liar, serta manusia di sekitarnya. Pasalnya, kawasan Cagar Alam di Teluk Bintuni merupakan satu-satunya kawasan hutan mangrove terluas di Tanah Papua. Mangrove itu telah diyakini orang konservasi dan para pencinta lingkungan di dunia sebagai sumber dan pusat keberlangsungan hidup keanekaragaman hayati yang berada di dalam lingkaran ekosistem hutan mangrove. Namun, tiga tahun kemudian (baca: sekarang-tahun 2007) ‘Surga’ itu telah terancam rusak oleh pola pembangunan yang tidak bersahabat di kabupaten pemekaran ini. ‘Surga’ itu suidah, sedang dan akan terus terancam oleh kekuatan investasi ‘Kota Emas’. Akibatnya, ‘Kota Emas’ yang pernah menjanjikan harapan akan sebuah masa depan yang lebih baik itu telah mencemaskan kehidupan dan keberlangsungan hidup di ‘Surga’ Cagar Alam Teluk Bintuni, termasuk masyarakat adat 7 Suku asli Teluk Bintuni.

Kawasan Cagar Alam Teluk Bintuni (CATB) berada di wiilayah administrative Daerah Kabupaten Teluk Bintuni, Provinsi Irian Jaya Barat (Papua Barat,sekarang). Kabupaten Teluk Bintuni merupakan salah satu Kabupaten baru hasil pemekaran dari Kabupaten Manokwari di provinsi Papua yang baru disahkan pada tahun 2002. Kawasan Cagar Alam ini mencakup wilayah administrative Distrik Bintuni, Distrik Idoor dan Distrik Kuri. Berdasarkan pembagian wilayah pengelolaan Hutan dan Kawasan Konservasi Sumber Daya Alam, CATB berada di wilayah kerja Resort KSDA Bintuni dan resort KSDA Babo, Seksi Konservasi Wilayah I Manokwari, Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Papua II yang berkedudukan di Sorong, Papua Barat. CATB terletak di bagian timur Kawasan perairan Teluk Bintuni. Secara geografis terletak antara 02º.02’-02º.30’ LS dan 133º.31’-134º.02’ BT, dengan batas-batas wilayah sebagai berikut: Bagian Utara berbatasan dengan areal HPH PT Yotefa Sarana Timber; Bagian selatan berbatasan dengan sungai Naramasa dan HPH PT BUMWI; Bagian barat berbatasan dengan Sungai Wasian, dan perairan Teluk Bintuni; Bagian Timur berbatasan dengan wilayah Distrik Idoor dan HPH PT Henrison Iriana. Pelaksanaan tata batas kawasan CATB kemudian dilanjutkan dengan dikeluarkan SK MENHUT NO: 891/KPTS-II/1999 tentang penunjukan Kawasan Hutan Provinsi dan perairan Papua. Status hukum ini masih harus dilanjutkan dengan SK penetapan. Diketahui bahwa luas cagar Teluk Bintuni adalah 124.850 Ha, dimana lebih 90 % areal merupakan ekosistem hutan mangrove.

Secara geografis Teluk Bintuni berada di wilayah Kepala Burung Papua pada koordinat 132º02’ bujur timur dan 2º02’-2º97’ lintang selatan. Wilayah ini memiliki banyak sungai besar yang mengandung lumpur kecoklatan yang panjangnya mulai dari 60 hingga 150 km. dan rawa-rawa yang ditumbuhi hutan mangrove, palma, nipah, serta sagu rawa. Sungai-sungai di Teluk Bintuni merupakan ”jalan raya” bagi kapal barang dan perahu rakyat yang lalu lalang antar kampung di tepian sungai. Apabila menggunakan transportasi air menuju pusat kota Kabupaten di Bintuni, kita akan melewati sungai-sungai besar selama kurang lebih satu jam sebelum mencapai pelabuhan. Sepanjang perjalanan akan terlihat endapan lumpur alluvial dan litoral yang menggaris pulau-pulau kecil tepian sungai. Pulau-pulau kecil ini banyak tak berpenghuni setelah ditetapkan sebagai daerah cagar alam oleh pemerintah Indonesia.
Di Teluk Bintuni terdapat 4 DAS (Daerah Aliran Sungai) utama, antara lain; DAS Remu, Muturi, Naramasa, dan Korol Bomberai, serta 10 Sub DAS antara lain: Sub DAS Kamundan, Weriagar, Sebyar, Wasian, Muturi, Kasuari, Naramasa, Wagura, Bomberai, dan Bedidi. DAS tersebut banyak dilalui sungai-sungai kecil yang pada musim kemarau seringkali kering. Iklim di wilayah Teluk Bintuni tergolong tropis basah dengan suhu yang panas dan kelembaban udara cukup tinggi sepanjang tahun. Bulan Desember hingga Maret Teluk Bintuni diguyur hujan, sedangkan pada bulan Mei hingga Oktober musim kemarau yang panas, kering, dan berdebu menjadi pemandangan sehari-hari.
Sampai dengan tahun 2005, penduduk yang mendiami kabupaten ini kurang lebih 42,733 jiwa dengan komposisi 20,860 perempuan dan 21,873 laki-laki. Namun, sebagai dampak dari investasi dan pemekaran wilayah, arus migran yang datang ke wilayah ini membuat Teluk Bintuni berkembang pesat. Masyarakat adat 7 suku di Teluk Bintuni sudah hampir menjadi minoritas di wilayah kabupaten yang kini mempunyai investasi skala besar seperti proyek LNG Tangguh. Bahkan, pemerintah pun telah melegitimasi keberadaan Suku Nusantara (sebutan untuk orang dari luar Papua), karena penduduk Teluk Bintuni telah beranekaragam etnis. Penduduk asli Teluk Bintuni sendiri terbagi dalam 7 suku, dengan bahasa yang berbeda-beda. Suku Moskona hidup di wilayah pedalaman dengan bahasanya Moskona, memiliki kurang lebih 10 marga. Suku-suku Manition dengan bahasanya Manitio memiliki kurang lebih 15 marga dengan pecahan suku Hatam dengan bahasa Hatam, Moile dan Meyakh dengan bahasa Moile dan Meyakh. Sedangkan suku Wamesa Tengah yang terdiri dari 49 marga mendiami wilayah pantai, Suku Kuri (10 marga), Mairasi (10 marga) dan Suku Kembaran Sebyar (Yamban) kurang lebih 26 marga, hidup tersebar di daerah pedalaman. Selain suku-suku asli, terdapat Suku Nusantara yang berasal dari Bugis, Makasar, Jawa, Maluku, Timor, Flores dan keturunan Tionghoa.

Pada tahun 2002 tercatat komposisi penduduk asli Bintuni adalah sebesar 75,10%, sedangkan penduduk non papua sebesar 15,56%. Namun, pada tahun 2006, perimbangan jumlah penduduk sudah hampir terbalik, 55% untuk orang asli dan 45% untuk golongan Suku Nusantara yang rata-rata bekerja sebagai petani (mayoritas transmigran), buruh perusahaan kayu dan perikanan, pedagang dan kebanyakan berprofesi sebagai PNS dan TNI/Polri, dan buruh perusahaan pengeruk hutan kayu hingga penghisap minyak dan gas alam cair di kawasan tersebut. Pada umumnya, para migran ini tinggal di ibukota kabupaten dan distrik, bahkan penduduk lokal sudah semakin tergeser ke pinggiran kota. Orang asli Teluk Bintuni dapat ditemukan tinggal di daerah-daerah pesisir sungai dan bermata pencaharian sebagai nelayan tradisional. Sedangkan penduduk yang tinggal di daerah dataran rendah dan perbukitan bermata pencarian sebagai petani semi subsisten.

Teluk Bintuni, seperti juga daerah lain di Papua, memiliki kekayaan alam yang melimpah, mulai dari tambang, laut, hingga hutan. Gas alam cair tersimpan di perut bumi yang diperkirakan berjumlah 14,4 TcF, telah mengundang perusahaan multinasional Beyond Petrolium untuk menanamkan modal besar-besaran di wilayah ini. Proyek yang kemudian mencuat di tingkat nasional bernama LNG Tangguh ini kini gencar mengembangkan eksplorasi LNG di wilayah Saengga.Selain Gas, Teluk Bintuni juga memiliki kandungan batu bara dan rencana Pemerintah Daerah untuk megijinkan exploitasi batu bara dengan membutukan lahan sebesar 30.000 ha untuk lokasi tambang sedangkan lapangan tambang sebesar 60.000 ha di kampung Horna Distrik Bintuni.dan terdapat juga bahan galian batu gamping serta mika. Cadangan mika sebesar 150,10 juta metrik ton, terdiri dari Jenis Maskovit sebanyak 19,38 juta metrik ton, jenis kuarsa 91,28 juta metrik ton, dan jenis pragmatic 31,50 juta metrik ton.

Teluk Bintuni sebagian besar dirimbuni oleh hutan luas menghampar mulai dari pantai, rawa, hingga dataran rendah dan perbukitan. Kekayaan hutan dataran rendah Teluk Bintuni telah menarik perhatian pengusaha karena kayunya yang bernilai ekonomis tinggi. Jenis kayu Merbau, Matoa, Nyatoh, Medang, Pulai, Bintanggur, Mersawa, dan Resak kini menjadi incaran HPH maupun aktivitas Illegal logging. Selain itu jenis Kenari, Kayu Manis, Kayu Putih, dan Rotan juga mendominasi hutan hujan di kawasan tersebut. Menurut catatan Dinas Kehutanan Kabupaten Teluk Bintuni tahun 2004, peruntukan kawasan hutan telah dibagi dalam beberapa jenis, antara lain:

Fungsi Hutan Luas
Hutan lindung 19.125 ha, 5,75 %
Hutan Produksi 444.067 ha, 36,90 %
Hutan produksi terbatas 133.312 ha, 11,08 %
Hutan PPA 180.562 ha, 15,00%
Jumlah kawasan hutan tetap 827.067 ha, 68,73 %
Hutan produksi dapat dikonversi 361.000 ha, 30,00 %
Penggunaan lain 15.375 ha, 1,28 %
Jumlah luas kawasan 1.203.442 ha, 100,00 %
Sumber: Statistik Kehutanan Bintuni, 2004

Teluk Bintuni merupakan wilayah Gugusan Mangrove yang sangat luas dan memiliki karakteristik terbaik di Asia Tenggara. Luas keseluruhan teluk bintuni adalah 18,637 km2. Berdasarkan data yang dikumpulkan oleh Perkumpulan Bin Madag Hom, sebuah LSM yang bekerja di kawasan Teluk Bintuni, Total luas hutan kawasan Teluk Bintuni adalah 1.935.885 ha. Dari total luasan hutan tersebut 1.329.275 ha (68,66 %) telah teralokasi untuk HPH, Untuk Perkebunan Kelapa Sawit seluas 60.000 ha (3,10%), Untuk Pertambangan Minyak dan Gas Alam seluas 3.266 ha (0,17%). Dengan demikian total luas hutan yang sudah disertivikasi untuk usaha adalah 1.392.541 ha (71%). Hutan untuk konservasi PPA 158,364 ha (8,18%). Sisa hutan yang belum dikonversi adalah 384.980 ha (19,89%). Angka di atas menunjukan bahwa wilayah kelola dan pemanfaatan rakyat hanya tinggal 384.980 h
Teluk Bintuni, Papua Barat
Ini kisah tentang perjalanan saya ke dan dari Kab. Teluk Bintuni, Prov. Papua Barat. Dari sebuah nanggroe di sisi paling barat Indonesia, saya akhirnya bisa menjejakkan kaki di sudut paling ujung timur Indonesia. Bagi saya ini sebuah petualangan yang sarat makna, terlepas dari diskusi panas yang selalu terjadi di antara orang Papua ketika bertemu orang Aceh tentang hak untuk merdeka…
Saat transit sebentar di Sorong, setelah terbang dari Makassar dengan pesawat Merpati Boeing 737-200, saya sempat menikmati semangkuk Pop Mie hangat dan segelas kopi panas (kata si penjual, itu kopi Toraja). Nikmat nian… Ternyata harganya lebih murah daripada di bandara Soekarno-Hatta… Perbedaan lainnya: ada tulisan berbunyi DILARANG MAKAN PINANG! (Hehehe..bukan dilarang merokok, lo!) Soalnya, orang yang makan pinang suka meludah sembarangan sehingga meninggalkan warna merah yang sulit dibersihkan. Ini salah satu keunikan Papua, bung!
Perjalanan ke Teluk Bintuni merupakan bagian dari upaya untuk belajar dan memahami bagaimana pemerintah daerah berjuang untuk mampu melaksanakan peraturan tentang pengelolaan keuangan yang dibuat oleh pemerintah pusat. Dengan segala keterbatasan yang dimiliki, baik SDM maupun sarana-prasarana, ada gairah yang membuncah untuk mensejajarkan diri dengan daerah di luar Papua yang relatif lebih cepat menyesuaikan diri. Dari berbagai penjuru, melalui laut, darat dan udara, para aparatur daerah berkumpul di kota Teluk Bintuni untuk berdiskusi dalam acara sosialisasi, pelatihan, dan pendampingan tentang penatausahaan dan akuntansi keuangan daerah.
Di Teluk Bintuni, kita menginap di Penginapan yang struktur bangunannya menggunakan kayu besi, sekitar 800 meter dari perkantoran Pemda Kab. Teluk Bintuni. Penginapan Kabira merupakan yang terbaik di kota kecil ini. Selain memiliki 8 kamar, ada juga paviliun atau rumah di sekitar penginapan yang disewakan dengan fasilitas lengkap (TV, AC, kipas angin, peralatan dapur termasuk gas, kopi, teh, dan mie sedap). Kamar di lantai dua bertarif 300ribu rupiah sangat menyenangkan karena dipasangi AC (di luar panas banget). Persis di depan kamar, ada ruang tamu dengan TV berparabola dan sofa besar (enak untuk nonton sambil tiduran dan menikmati makanan ringan).
Kota Teluk Bintuni sendiri merupakan sebuah kota kecil dengan jumlah penduduk sekitar 3.000-an jiwa. Hanya satu jalan raya yang membentang arah timur-barat. Di sepanjang jalan, terutama pusat kota, banyak rumah makan dengan menu utama ikan bakar. Kebanyakan penjual makanan berasal dari Sulawesi Selatan dengan tarif sekali makan paling murah 20.000 rupiah. Selain ikan bakar, kepiting di sini juga cukup terkenal karena “kebesaran”nya. Maksudnya, wujud kepitingnya cukup besar, kadang bisa satu kilo per ekor. Kalau dimasak dengan bumbu saos tiram, wuih…maknyus tenan! Untuk menemukan kepiting yang segar dan montok, kita tinggal menunggu anak-anak kecil yang membawa kepiting dengan menggunakan galah di bahunya. Harganya 8.000 rupiah per ekor (kalau di pasar sekitar 10.000 rupiah). (Waktu pulang ke Jogja, saya bawa 22 ekor kepiting sebagai oleh-oleh. Kabarnya kalau di bandara internasional ndak bakalan lolos… Tapi karena di bandara Teluk Bintuni dan Manokwari tidak ada pemindai atau scanner, akhirnya para tetangga saya juga ikut merasakan nikmatnya kepiting Papua. Hehehehe…) Selain itu, ada juga daging rusa yang dijual d pasar: ada yang berbentuk dendeng, daging segar (di-friser-kan), dan bakso. Ternyata ada tujuan wisata kuliner juga di Bintuni… (Sekedar catatan: di Teluk Bintuni uang pecahan Rp500 tidak laku, walaupun berjumlah 10 koin sehingga total nilainya 5.000 rupiah).
Alat transportasi utama di kota ini adalah ojek sepeda motor. Biasanya sekali jalan ongkosnya 5000 rupiah, jauh dekat. Mobil yang hilir mudik hanya mobil pemda (umumnya dobel gardan), kecuali beberapa Jeep Wilis yang merupakan alat transportasi dari teluk Bintuni ke Manokwari-ibukota provinsi Papua Barat-dengan waktu tempuh sekitar 12 jam melewati rimba raya Papua. Tak jarang di tengah perjalanan bertemu dengan serombongan kijang dan rusa. Kalau ada yang bawa senjata berburu, maka di tengah hutan akan dilaksanakan acara rusa guling bakar. Bagi pemilik jiwa petualang, tidak salahnya mencoba rute ini.
Jalan keluar-masuk utama kota Teluk Bintuni adalah lewat udara dengan menggunakan pesawat kecil milik Merpati. Jumlah penumpang sekitar 15 orang. Pesawat ini tidak terbang setiap hari, hanya 3 kali seminggu. Waktu terbang masih berada di bawah awan, sehingga sangat tergantung pada kondisi cuaca. Kalau cuaca lagi tidak bersahabat, kita bisa “terkurung” beberapa hari di kota Teluk Bintuni.
Perjalanan ke pedalaman Papua memang menantang sekaligus menyenangkan. Selain bisa melakukan wisata kuliner, kita juga menemukan banyak hal-hal baru yang barangkali telah hilang dari budaya perkotaan. Masih terdapat keluguan, kejujuran, dan kebersamaan di kota kecil ini. Di kota ini, saya menemukan sebuah makna lain dari kehidupan. Misalnya, meskipun mayoritas penduduk memeluk agama Katolik dan Kristen, penganut agama Islam bisa hidup berdampingan dengan harmonis. Bahkan bisa dikatakan, penggerak perekonomian, terutama untuk sandang dan pangan, adalah kaum minoritas ini.
Tentang malaria, awalnya memang mengkuatirkan karena masalah ini masih belum terpecahkan di Papua. Untuk itu, beberapa hari sebelum berangkat, saya sudah minum beberapa butir pil kina. Namun, setelah beberapa hari di Teluk Bintuni (bahkan sampai beberapa hari setelah tiba di Jogja) telingga terasa berdenging terus dan pendengaran terganggu. Setelah dicari informasinya di internet, ternyata itu efek dari pil kina yang telah saya telan sebelumnya.
Hidup memang akan terus berjalan, mengalir seperti air. Hanya saja seberapa jauh kita bisa menikmati keleluasan dan kemudahan yang telah diberikan oleh Allah SWT selama hidup di bumi. Perjalanan dari satu bagian ke bagian bumi yang lain adalah sebuah penafsiran dari kata HIJRAH. Hijrah berarti belajar tentang apa saja, berjalan kemana saja, bersahabat dengan siapa saja, dan bersyukur kepada-NYA kapan dan dimana saja. Semoga perjalanan berikutnya ke negeri lain di bumi segera terlaksana. Amin.
Kepulauan Mentawai, Sumatera Barat
Ini cerita tentang perjalanan ke Kabupaten Kepulauan Mentawai, Provinsi Sumatera Barat. Waktu saya masih SD, keinginan untuk ke Mentawai sudah muncul, tepatnya setelah membaca sebuah buku cerita tentang kehidupan masyarakat suku pedalaman di Pulau Siberut. Kabarnya, warna kulit mereka putih seperti orang Cina, bermata agak sipit, dan hidup secara nomaden.
Perjalanan ke Tuapejat, ibukota Kabupaten Kepulauan Mentawai, semestinya menggunakan pesawat kecil SMAC (kalau ndak salah singkatan dari Sabang-Merauke Aircraft Carter). Hehehe…ada yang memplesetkan SMAC = Siapa Mati Atau Cacat. Ternyata, SMAC lagi tidak terbang, lagi masuk hanggar (bengkel). Jadilah perjalanan ke Mentawai lewat laut dengan kapal KMP Ambu-Ambu.
Kegiatan di Mentawai adalah berdiskusi dengan aparatur daerah terkait pengelolaan keuangan daerah, dalam hal ini bersama-sama berupaya memahami dengan baik apa yang diatur dalam, dengan fokus pada penatausahaan keuangan daerah. Pemahaman atas regulasi ini melalui kegiatan bimbingan teknis barangkali tidak sepenuhnya efektif, namun karena keterbatasan yang ada untuk tahap awal langkah inilah yang ditempuh. Kegiatan Bintek dilaksanakan di aula pendopo bupati, persis di belakang rumah dinas Bupati Kepulauan Mentawai yang tidak ditempati lagi karena mengalamai kerusakan cukup parah akibat gempa bumi beberapa waktu lalu.
Meski terpisah puluhan mil dari kota Padang, suasana bumi Minangkabau masih terasa. Umumnya PNS di kabupaten ini berasal dari Padang sehingga biasanya pada akhir pekan melakukan “eksodus” ke daratan pulau Sumatera, sementara Minggu malam arahnya berbalikan. Karenanya, pada waktu-waktu tsb sangat sulit memperoleh tempat nyaman di kapal, yakni kamar atau kursi kelas eksekutif. Tidur di dek beralaskan ambal atau koran sudah menjadi hal biasa bagi para PNS yang secara rutin bolak-balik Padang-Tuapejat, demi keluarga, anak, dan suami/istri yang dengan tabah menjalani hidup di Padang demi keberlanjutan pendidikan anak-anaknya.
Seperti lazimnya kabupaten baru yang lain, Kepulauan Mentawai masih tertinggal jauh dibanding daerah lain di Sumatera Barat. Jalan raya yang membelah wilayah di Pulau Sipora, tempat kota Tuapejat berlokasi, tidak diaspal sama sekali. Beberapa potong jalan sudah dibeton, namun tidak tuntas. Kabarnya kontraktornya “melarikan diri”. Mahalnya harga pasir kali sebagai bahan utama pengaspalan, karena harus “diimpor” dari Padang dan dibawa ke Tuapejat dengan KMP Ambu-Ambu, menjadi kendala untuk menyediakan ruas jalan yang layak. Pemkab Kepulauan Mentawai nyaris menyerah menghadapi persoalan infrastruktur dan sarana prasarana ini. Kabarnya, jalan ini adalah jalan provinsi, sehingga anggaran pemeliharaan dan pembangunannya ada dalam APBD Provinsi Sumatera Barat. Namun, Provinsi Sumbar sepertinya tidak merasa perlu memperbaiki jalan yang membelah Pulau Sipora ini.

No comments:

Post a Comment