Gamelan adalah produk budaya untuk
memenuhi kebutuhan manusia akan kesenian. Kesenian merupakan salah satu unsur
budaya yang bersifat universal. Ini berarti bahwa setiap bangsa dipastikan
memiliki kesenian, namun wujudnya berbeda antara bangsa yang satu dengan bangsa
yang lain. Apabila antar bangsa terjadi kontak budaya maka keseniannya pun juga
ikut berkontak sehingga dapat terjadi satu bangsa akan menyerap atau mengarn
bila unsur seni dari bangsa lain disesuaikan dengan kondisi seternpat. Oleh
karena itu sejak keberadaan gamelan sampai sekarang telah
terjadi perubahan dan perkembangan, khususnya dalam kelengkapan ansambelnya.
Gamelan adalah seperangkat alat musik dengan nada pentatonis, yang terdiri dari : Kendang, Bonang, Bonang Penerus, Demung, Saron, Peking (Gamelan), Kenong & Kethuk, Slenthem, Gender, Gong, Gambang, Rebab,, Siter, Suling.
Komponen utama alat musik gamelan adalah : bambu, logam, dan kayu. Masing-masing alat memiliki fungsi tersendiri dalam pagelaran musik gamelan
Kata Gamelan sendiri berasal dari bahasa Jawa “gamel” yang berarti memukul / menabuh, diikuti akhiran “an” yang menjadikannya sebagai kata benda. Sedangkan istilah gamelan mempunyai arti sebagai satu kesatuan alat musik yang dimainkan bersama.
Tidak ada kejelasan tentang sejarah terciptanya alat musik ini. Tetapi, gamelan diperkirakan lahir pada saat budaya luar dari Hindu – Budha mendominasi Indonesia. Walaupun pada perkembangannya ada perbedaan dengan musik India, tetap ada beberapa ciri yang tidak hilang, salah satunya adalah cara “menyanyikan” lagunya. Penyanyi pria biasa disebut sebagai wiraswara dan penyanyi wanita disebut waranggana.
Menurut mitologi Jawa, gamelan diciptakan oleh Sang Hyang Guru pada Era Saka. Beliau adalah dewa yang menguasai seluruh tanah Jawa, dengan istana yang berada di gunung Mahendra di daerah Medangkamulan (sekarang Gunung Lawu).
Alat musik gamelan yang pertama kali diciptakan adalah “gong”, yang digunakan untuk memanggil para dewa. Setelah itu, untuk menyampaikan pesan khusus, Sang Hyang Guru kembali menciptakan beberapa peralatan lain seperti dua gong, sampai akhirnya terbentuklah seperangkat gamelan.
Pada jaman Majapahit, alat musik gamelan mengalami perkembangan yang sangat baik hingga mencapai bentuk seperti sekarang ini dan tersebar di beberapa daerah seperti Bali, dan Sunda (Jawa Barat).
Bukti otentik pertama tentang keberadaan gamelan ditemukan di Candi Borobudur, Magelang Jawa Tengah yang berdiri sejak abad ke-8. Pada relief-nya terlihat beberapa peralatan seperti suling bambu, lonceng, kendhang dalam berbagai ukuran, kecapi, alat musik berdawai yang digesek dan dipetik, termasuk sedikit gambaran tentang elemen alat musik logam. Perkembangan selanjutnya, gamelan dipakai untuk mengiringi pagelaran wayang dan tarian. Sampai akhirnya berdiri sebagai musik sendiri dan dilengkapi dengan suara para sinden.
Gamelan yang berkembang di Jawa Tengah, sedikit berbeda dengan Gamelan Bali ataupun Gamelan Sunda. Gamelan Jawa memiliki nada yang lebih lembut apabila dibandingkan dengan Gamelan Bali yang rancak serta Gamelan Sunda yang mendayu-dayu dan didominasi suara seruling. Menurut beberapa penelitian, perbedaan itu adalah akibat dari pengungkapan terhadap pandangan hidup “orang jawa” pada umumnya.
Pandangan yang dimaksud adalah : sebagai orang jawa harus selalu “memelihara keselarasan kehidupan jasmani dan rohani, serta keselarasan dalam berbicara dan bertindak”. Oleh sebab itu, “orang jawa” selalu menghindari ekspresi yang meledak-ledak serta selalu berusaha mewujudkan toleransi antar sesama. Wujud paling nyata dalam musik gamelan adalah tarikan tali rebab yang sedang, paduan seimbang bunyi kenong, saron kendang dan gambang serta suara gong pada setiap penutup irama.
Penalaan dan pembuatan orkes gamelan adalah suatu proses yang sangat kompleks. Gamelan menggunakan empat cara penalaan, yaitu “sléndro”, “pélog”, ”Degung” (khusus daerah Sunda, atau Jawa Barat), dan “madenda” (juga dikenal sebagai diatonis), sama seperti skala minor asli yang banyak dipakai di Eropa.
* Slendro memiliki 5 nada per oktaf, yaitu : 1 2 3 5 6 [C- D E+ G A] dengan perbedaan interval kecil.
* Pelog memiliki 7 nada per oktaf, yaitu : 1 2 3 4 5 6 7 [C+ D E- F# G# A B] dengan perbedaan interval yang besar.
Komposisi musik gamelan diciptakan dengan beberapa aturan, yang terdiri dari beberapa putaran dan pathet, dibatasi oleh satu gongan serta melodinya diciptakan dalam unit yang terdiri dari 4 nada.
Gamelan adalah seperangkat alat musik dengan nada pentatonis, yang terdiri dari : Kendang, Bonang, Bonang Penerus, Demung, Saron, Peking (Gamelan), Kenong & Kethuk, Slenthem, Gender, Gong, Gambang, Rebab,, Siter, Suling.
Komponen utama alat musik gamelan adalah : bambu, logam, dan kayu. Masing-masing alat memiliki fungsi tersendiri dalam pagelaran musik gamelan
Kata Gamelan sendiri berasal dari bahasa Jawa “gamel” yang berarti memukul / menabuh, diikuti akhiran “an” yang menjadikannya sebagai kata benda. Sedangkan istilah gamelan mempunyai arti sebagai satu kesatuan alat musik yang dimainkan bersama.
Tidak ada kejelasan tentang sejarah terciptanya alat musik ini. Tetapi, gamelan diperkirakan lahir pada saat budaya luar dari Hindu – Budha mendominasi Indonesia. Walaupun pada perkembangannya ada perbedaan dengan musik India, tetap ada beberapa ciri yang tidak hilang, salah satunya adalah cara “menyanyikan” lagunya. Penyanyi pria biasa disebut sebagai wiraswara dan penyanyi wanita disebut waranggana.
Menurut mitologi Jawa, gamelan diciptakan oleh Sang Hyang Guru pada Era Saka. Beliau adalah dewa yang menguasai seluruh tanah Jawa, dengan istana yang berada di gunung Mahendra di daerah Medangkamulan (sekarang Gunung Lawu).
Alat musik gamelan yang pertama kali diciptakan adalah “gong”, yang digunakan untuk memanggil para dewa. Setelah itu, untuk menyampaikan pesan khusus, Sang Hyang Guru kembali menciptakan beberapa peralatan lain seperti dua gong, sampai akhirnya terbentuklah seperangkat gamelan.
Pada jaman Majapahit, alat musik gamelan mengalami perkembangan yang sangat baik hingga mencapai bentuk seperti sekarang ini dan tersebar di beberapa daerah seperti Bali, dan Sunda (Jawa Barat).
Bukti otentik pertama tentang keberadaan gamelan ditemukan di Candi Borobudur, Magelang Jawa Tengah yang berdiri sejak abad ke-8. Pada relief-nya terlihat beberapa peralatan seperti suling bambu, lonceng, kendhang dalam berbagai ukuran, kecapi, alat musik berdawai yang digesek dan dipetik, termasuk sedikit gambaran tentang elemen alat musik logam. Perkembangan selanjutnya, gamelan dipakai untuk mengiringi pagelaran wayang dan tarian. Sampai akhirnya berdiri sebagai musik sendiri dan dilengkapi dengan suara para sinden.
Gamelan yang berkembang di Jawa Tengah, sedikit berbeda dengan Gamelan Bali ataupun Gamelan Sunda. Gamelan Jawa memiliki nada yang lebih lembut apabila dibandingkan dengan Gamelan Bali yang rancak serta Gamelan Sunda yang mendayu-dayu dan didominasi suara seruling. Menurut beberapa penelitian, perbedaan itu adalah akibat dari pengungkapan terhadap pandangan hidup “orang jawa” pada umumnya.
Pandangan yang dimaksud adalah : sebagai orang jawa harus selalu “memelihara keselarasan kehidupan jasmani dan rohani, serta keselarasan dalam berbicara dan bertindak”. Oleh sebab itu, “orang jawa” selalu menghindari ekspresi yang meledak-ledak serta selalu berusaha mewujudkan toleransi antar sesama. Wujud paling nyata dalam musik gamelan adalah tarikan tali rebab yang sedang, paduan seimbang bunyi kenong, saron kendang dan gambang serta suara gong pada setiap penutup irama.
Penalaan dan pembuatan orkes gamelan adalah suatu proses yang sangat kompleks. Gamelan menggunakan empat cara penalaan, yaitu “sléndro”, “pélog”, ”Degung” (khusus daerah Sunda, atau Jawa Barat), dan “madenda” (juga dikenal sebagai diatonis), sama seperti skala minor asli yang banyak dipakai di Eropa.
* Slendro memiliki 5 nada per oktaf, yaitu : 1 2 3 5 6 [C- D E+ G A] dengan perbedaan interval kecil.
* Pelog memiliki 7 nada per oktaf, yaitu : 1 2 3 4 5 6 7 [C+ D E- F# G# A B] dengan perbedaan interval yang besar.
Komposisi musik gamelan diciptakan dengan beberapa aturan, yang terdiri dari beberapa putaran dan pathet, dibatasi oleh satu gongan serta melodinya diciptakan dalam unit yang terdiri dari 4 nada.
Istilah “karawitan” yang digunakan untuk merujuk pada
kesenian gamelan banyak dipakai oleh kalangan masyarakat Jawa. Istilah tersebut
mengalami perkembangan penggunaan maupun pemaknaannya. Banyak orang memaknai
"karawitan" berangkat dari kata dasar “rawit” yang
berarti kecil, halus atau rumit. Konon, di lingkungan kraton Surakarta, istilah
karawitan pernah juga digunakan sebagai payung dari beberapa cabang kesenian
seperti: tatah sungging, ukir, tari, hingga pedhalangan (Supanggah, 2002:5¬6).
Dalarn pengertian yang sempit istilah karawitan dipakai untuk menyebut suatu jenis seni suara atau musik yang mengandung salah satu atau kedua unsur berikut (Supanggah, 2002:12):
(1) menggunakan alat musik gamelan - sebagian atau seluruhnya baik berlaras slendro atau pelog - sebagian atau semuanya.
(2) menggunakan laras (tangga nada slendro) dan / atau pelog baik instrumental gamelan atau non-gamelan maupun vocal atau carnpuran dari keduanya.
Gamelan Jawa sekarang ini bukan hanya dikenal di Indonesia saja, bahkan telah berkembang di luar negeri seperti di Amerika Serikat, Inggris, Jepang, Canada. Karawitan telah 'mendunia'. Oleh karna itu cukup ironis apabila bangsa Jawa sebagai pewaris langsung malahan tidak mau peduli terhadap seni gamelan atau seni karawitan pada khususnya atau kebudayaan Jawa pada umumnya. Bangsa lain begitu tekunnya mempelajari gamelan Jawa, bahkan di beberapa negara memiliki seperangkat gamelan Jawa. Sudah selayaknya masyarakat Jawa menghargai karya agung nenek moyang sendiri.
Dalarn pengertian yang sempit istilah karawitan dipakai untuk menyebut suatu jenis seni suara atau musik yang mengandung salah satu atau kedua unsur berikut (Supanggah, 2002:12):
(1) menggunakan alat musik gamelan - sebagian atau seluruhnya baik berlaras slendro atau pelog - sebagian atau semuanya.
(2) menggunakan laras (tangga nada slendro) dan / atau pelog baik instrumental gamelan atau non-gamelan maupun vocal atau carnpuran dari keduanya.
Gamelan Jawa sekarang ini bukan hanya dikenal di Indonesia saja, bahkan telah berkembang di luar negeri seperti di Amerika Serikat, Inggris, Jepang, Canada. Karawitan telah 'mendunia'. Oleh karna itu cukup ironis apabila bangsa Jawa sebagai pewaris langsung malahan tidak mau peduli terhadap seni gamelan atau seni karawitan pada khususnya atau kebudayaan Jawa pada umumnya. Bangsa lain begitu tekunnya mempelajari gamelan Jawa, bahkan di beberapa negara memiliki seperangkat gamelan Jawa. Sudah selayaknya masyarakat Jawa menghargai karya agung nenek moyang sendiri.
Sejarah Gamelan Jawa
dan Perkembangannya
Bagi
masyarakat Jawa khususnya, gamelan bukanlah sesuatu yang asing dalam kehidupan
kesehariannya. Dengan kata lain, masyarakat tahu benar mana yang disebut
gamelan atau seperangkat gamelan. Mereka telah mengenal istilah ‘gamelan’,
‘karawitan’, atau ‘gangsa’. Namun barangkali rnasih banyak yang belum
mengetahui bagaimana sejarah perkembangan gamelan itu sendiri, sejak kapan
gamelan mulai ada di Jawa?.
Seorang
sarjana berkebangsaan Belanda bernama Dr. J.L.A. Brandes secara teoritis
mengatakan bahwa jauh sebelum datangnya pengaruh budaya India, bangsa Jawa
telah rnemiliki ketrampilan budaya atau pengetahuan yang mencakup 10 butir
(Brandes, 1889):
(1) wayang,
(2) gamelan,
(3)ilmu irama sanjak,
(4) batik,
(5) pengerjaan logam,
(6) sistem mata uang sendiri,
(7) ilmu teknologi pelayaran,
(8) astronomi,
(9) pertanian sawah,
(10) birokrasi pemerintahan yang teratur
(2) gamelan,
(3)ilmu irama sanjak,
(4) batik,
(5) pengerjaan logam,
(6) sistem mata uang sendiri,
(7) ilmu teknologi pelayaran,
(8) astronomi,
(9) pertanian sawah,
(10) birokrasi pemerintahan yang teratur
Sepuluh
butir ketrampilan budaya tersebut bukan dari pemberian bangsa Hindu dari India.
Kalau teori itu benar berarti keberadaan gamelan dan wayang sudah ada sejak
jaman prasejarah. Namun tahun yang tepat sulit diketahui karena pada masa
prasejarah masyarakat belum mengenal sistem tulisan. Tidak ada bukti-bukti
tertulis yang dapat dipakai untuk melacak dan merunut gamelan pada masa
prasejarah.
Gamelan
adalah produk budaya untuk memenuhi kebutuhan manusia akan kesenian. Kesenian
merupakan salah satu unsur budaya yang bersifat universal. Ini berarti bahwa
setiap bangsa dipastikan memiliki kesenian, namun wujudnya berbeda antara
bangsa yang satu dengan bangsa yang lain. Apabila antar bangsa terjadi kontak
budaya maka keseniannya pun juga ikut berkontak sehingga dapat terjadi satu
bangsa akan menyerap atau mengarn bila unsur seni dari bangsa lain disesuaikan
dengan kondisi seternpat. Oleh karena itu sejak keberadaan gamelan sampai
sekarang telah terjadi perubahan dan perkembangan, khususnya dalam kelengkapan
ansambelnya.
Istilah
“karawitan” yang digunakan untuk merujuk pada kesenian gamelan banyak dipakai
oleh kalangan masyarakat Jawa. Istilah tersebut mengalami perkembangan
penggunaan maupun pemaknaannya. Banyak orang memaknai “karawitan” berangkat
dari kata dasar “rawit” yang berarti kecil, halus atau rumit. Konon, di
lingkungan kraton Surakarta, istilah karawitan pernah juga digunakan sebagai
payung dari beberapa cabang kesenian seperti: tatah sungging, ukir, tari,
hingga pedhalangan (Supanggah, 2002:5¬6).
Dalarn pengertian
yang sempit istilah karawitan dipakai untuk menyebut suatu jenis seni suara
atau musik yang mengandung salah satu atau kedua unsur berikut (Supanggah,
2002:12):
(1) menggunakan alat musik gamelan – sebagian atau seluruhnya baik berlaras slendro atau pelog – sebagian atau semuanya.
(2) menggunakan laras (tangga nada slendro) dan / atau pelog baik instrumental gamelan atau non-gamelan maupun vocal atau carnpuran dari keduanya.
(1) menggunakan alat musik gamelan – sebagian atau seluruhnya baik berlaras slendro atau pelog – sebagian atau semuanya.
(2) menggunakan laras (tangga nada slendro) dan / atau pelog baik instrumental gamelan atau non-gamelan maupun vocal atau carnpuran dari keduanya.
Gamelan Jawa
sekarang ini bukan hanya dikenal di Indonesia saja, bahkan telah berkembang di
luar negeri seperti di Amerika Serikat, Inggris, Jepang, Canada. Karawitan
telah ‘mendunia’. Oleh karna itu cukup ironis apabila bangsa Jawa sebagai
pewaris langsung malahan tidak mau peduli terhadap seni gamelan atau seni
karawitan pada khususnya atau kebudayaan Jawa pada umumnya. Bangsa lain begitu
tekunnya mempelajari gamelan Jawa, bahkan di beberapa negara memiliki
seperangkat gamelan Jawa. Sudah selayaknya masyarakat Jawa menghargai karya
agung nenek moyang sendiri.
Sumber data tentang gamelan
Sumber data tentang gamelan
Kebudayaan
Jawa setelah masa prasejarah memasuki era baru yaitu suatu masa ketika
kebudayaan dari luar -dalam hal ini kebudayaan India- mulai berpengaruh.
Kebudayaan Jawa mulai memasuki jaman sejarah yang ditandai dengan adanya sistem
tulisan dalam kehidupan masyarakat. Dilihat dari perspektif historis selama
kurun waktu antara abad VIll sampai abad XV Masehi kebudayaan Jawa, mendapat
pengayaan unsur-unsur kebudayaan India. Tampaknya unsur-unsur budaya India juga
dapat dilihat pada kesenian seperti gamelan dan seni tari. Transformasi budaya
musik ke Jawa melalui jalur agama Hindu-Budha.
gamelan_band2Data-data
tentang keberadaan gamelan ditemukan di dalam sumber verbal yakni sumber –
sumber tertulis yang berupa prasasti dan kitab-kitab kesusastraan yang berasal
dari masa Hindu-Budha dan sumber piktorial berupa relief yang dipahatkan pada
bangunan candi baik pada candi-candi yang berasal dari masa klasik Jawa Tengah
(abad ke-7 sampai abad ke-10) dan candi-candi yang berasal dari masa klasik
Jawa Timur yang lebih muda (abad ke-11 sampai abad ke¬15) (Haryono, 1985).
Dalam sumber-sumber tertulis masa Jawa Timur kelompok ansambel gamelan
dikatakan sebagai “tabeh – tabehan” (bahasa Jawa baru ‘tabuh-tabuhan’ atau
‘tetabuhan’ yang berarti segala sesuatu yang ditabuh atau dibunyikan dengan
dipukul). Zoetmulder menjelaskan kata “gamèl” dengan alat musik perkusi yakni
alat musik yang dipukul (1982). Dalam bahasa Jawa ada kata “gèmbèl” yang
berarti ‘alat pemukul’. Dalam bahasa Bali ada istilah ‘gambèlan’ yang kemudian
mungkin menjadi istilah ‘gamelan’. Istilah ‘gamelan’ telah disebut dalam
kaitannya dengan musik. Namur dalam masa Kadiri (sekitar abad ke¬13 Masehi),
seorang ahli musik Judith Becker malahan mengatakan bahwa kata ‘gamelan’
berasal dari nama seorang pendeta Burma dan seorang ahli besi bernama Gumlao.
Kalau pendapat Becker ini benar adanya, tentunya istilah ‘gamelan’ dijumpai
juga di Burma atau di beberapa daerah di Asia Tenggara daratan, namun ternyata
tidak.
Gambaran instrument gamelan pada relief candi
Gambaran instrument gamelan pada relief candi
Pada
beberapa bagian dinding candi Borobudur dapat 17 dilihat jenis-jenis instrumen
gamelan yaitu: kendang bertali yang dikalungkan di leher, kendang berbentuk
seperti periuk, siter dan kecapi, simbal, suling, saron, gambang. Pada candi
Lara Jonggrang (Prambanan) dapat dilihat gambar relief kendang silindris,
kendang cembung, kendang bentuk periuk, simbal (kècèr), dan suling.
Gambar
relief instrumen gamelan di candi-candi masa Jawa Timur dapat dijumpai pada
candi Jago (abad ke -13 M) berupa alat musik petik: kecapi berleher panjang dan
celempung. Sedangkan pada candi Ngrimbi (abad ke – 13 M) ada relief reyong (dua
buah bonang pencon). Sementara itu relief gong besar dijumpai di candi Kedaton
(abad ke-14 M), dan kendang silindris di candi Tegawangi (abad ke-14 M). Pada
candi induk Panataran (abad ke-14 M) ada relief gong, bendhe, kemanak, kendang
sejenis tambur; dan di pandapa teras relief gambang, reyong, serta simbal.
Relief bendhe dan terompet ada pada candi Sukuh (abad ke-15 M).
Berdasarkan
data-data pada relief dan kitab-kitab kesusastraan diperoleh petunjuk bahwa
paling tidak ada pengaruh India terhadap keberadaan beberapa jenis gamelan
Jawa. Keberadaan musik di India sangat erat dengan aktivitas keagamaan. Musik
merupakan salah satu unsur penting dalam upacara keagamaan (Koentjaraningrat,
1985:42-45). Di dalam beberapa kitab-kitab kesastraan India seperti kitab Natya
Sastra seni musik dan seni tari berfungsi untuk aktivitas upacara. keagamaan
(Vatsyayan, 1968). Secara keseluruhan kelompok musik di India disebut ‘vaditra’
yang dikelompokkan menjadi 5 kelas, yakni: tata (instrumen musik gesek), begat
(instrumen musik petik), sushira (instrumen musik tiup), dhola (kendang), ghana
(instrumen musik pukul). Pengelompokan yang lain adalah:
(1)
Avanaddha vadya, bunyi yang dihasilkan oleh getaran selaput kulit karena
dipukul.
(2) Ghana vadya, bunyi dihasilkan oleh getaran alat musik itu sendiri.
(3) Sushira vadya, bunyi dihasilkan oleh getaran udara dengan ditiup.
(4) Tata vadya, bunyi dihasilkan oleh getaran dawai yang dipetik atau digesek.
Klasifikasi tersebut dapat disamakan dengan membranofon (Avanaddha vadya), ideofon (Ghana vadya), aerofon (sushira vadya), kordofon (tata vadya). Irama musik di India disebut “laya” dibakukan dengan menggunakan pola ‘tala’ yang dilakukan dengan kendang. Irama tersebut dikelompokkan menjadi: druta (cepat), madhya (sedang), dan vilambita (lamban).
(2) Ghana vadya, bunyi dihasilkan oleh getaran alat musik itu sendiri.
(3) Sushira vadya, bunyi dihasilkan oleh getaran udara dengan ditiup.
(4) Tata vadya, bunyi dihasilkan oleh getaran dawai yang dipetik atau digesek.
Klasifikasi tersebut dapat disamakan dengan membranofon (Avanaddha vadya), ideofon (Ghana vadya), aerofon (sushira vadya), kordofon (tata vadya). Irama musik di India disebut “laya” dibakukan dengan menggunakan pola ‘tala’ yang dilakukan dengan kendang. Irama tersebut dikelompokkan menjadi: druta (cepat), madhya (sedang), dan vilambita (lamban).
No comments:
Post a Comment